Oleh: Tri Silvia
Ummahat Peduli Umat
“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada Abu Dzar, ia berjalan sendirian, ia meninggal sendirian, dan ia akan dibangkitkan sendirian…”
HENTAK fikiran beradu, menyatu, mengalun, membawa imajinasi ke tempat yang sulit terdeteksi sebelumnya. Tempat gelap dan sunyi. Tempat dimana segala hasut dan fitnah bertebaran, lengkap dengan bumbu-bumbu kemunafikan. Alhasil, diri semakin kehilangan arah, gundah yang menyapa semakin menguasai diri, untuk kemudian mengikis ketakutan pada-Nya, sedikit demi sedikit.
Itulah kiranya kondisi diri saat kesendirian menyapa. Mengerikan, namun nyata. Banyak orang yang jatuh pada kemaksiatan dan kemunafikan saat ditinggal dalam kesendirian. Hal yang berbeda dialami seorang sahabat Rasulullah mulia. Abu Dzar Al-Ghifari.
Kesendiriannya telah jelas dikabarkan oleh Rasulullah. Namun tak sedikitpun air mata tertumpah atau kekecewaan menjelma atas dirinya. Tak sedikitpun muncul rasa ingin berbalik dari keimanan dan ketakwaan pada Allah.
Kabar tersebut justru ia jadikan pecutan dalam hidup, untuk terus berpegang pada prinsip dan keyakinannya, loyal pada ketentuan syariat dan berusaha mewujudkannya dalam berbagai sendi kehidupan.
Berawal dari kisah perjalanan jihad kaum muslim melawan pasukan Romawi di Perang Tabuk. Panjangnya perjalanan juga kondisi cuaca yang sangat panas dan gersang jadi kendala besar kaum muslimin untuk berangkat ke medan Tabuk. Besarnya jumlah kekuatan musuh pun, pelak jadi batu sandungan bagi mereka yang imannya masih setengah-setengah. Mereka mencari alasan untuk tidak ikut serta dalam perang kali ini.
Namun tak ada yang mampu menghalangi titah Rasulullah. Keputusan untuk memerangi Romawi tetap dijalankan. Kaum muslimin pun berdiri tegak menjemput syahid, berangkat ke medan perang, termasuk Abu Dzar.
Dikisahkan bahwa Abu Dzar sempat tertinggal pasukan. Untanya yang berjalan lambat memaksanya untuk berpisah dari rombongan. Kabar itupun hinggap di telinga Rasulullah, kemudian beliau pun berkata, “Biarkan dia. Jika pada dirinya terdapat kebaikan, maka Allah akan menyusulkannya kepada kalian. Jika tidak, maka Allah akan menghibur kalian daripadanya.”
Tak lama setelah itu, tepatnya saat Rasulullah saw berhenti di salah satu jalan. Seorang pasukan melihat bayangan hitam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang berjalan kaki sendirian.” Rasulullah saw bersabda, “Dialah Abu Dzar.” Ketika orang-orang telah melihatnya, mereka berkata, “Wahai Rasulullah demi Allah, betul ia Abu Dzar.” Rasulullah saw bersabda, “Semoga Allah merahmati Abu Dzar yang berjalan kaki sendirian, mati sendirian, dan dibangkitkan sendirian.”
Sahabat yang bernama asli Jundub bin Janadah ini memang benar berjalan sendiri ditengah panasnya perjalanan. Ia harus melakukannya karena unta yang ia bawa tak sanggup lagi mengejar ketertinggalan dari pasukan Rasulullah. Bukan hal yang mudah, namun bukan tak mungkin pula bagi seorang Abu Dzar. Abu Dzar adalah seorang pemuda Bani Ghifar yang terkenal sebagai komplotan perampok, mereka seringkali menghabisi kafilah-kafilah dagang yang ada di seantero padang pasir.
Kehidupan yang buruk di tengah masyarakat buruk, tidak menjadikan ia pribadi yang busuk. Kebaikan telah ada di dalam diri seorang Jundub, jauh sebelum masuknya ia ke dalam Islam. Kesengsaraan para korban perampokan yang ia lakukanlah yang kemudian menjadi titik balik seorang Jundub. Ia sadar dan berhenti merampok, pun ia mengajak rekan-rekannya mengikuti jejak sebagaimana yang ia kerjakan. Tak pelak hal itu menimbulkan goncangan di sukunya, yang memaksa Jundub meninggalkan tanah kelahiran.
“Sungguh Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendakiNya…”. Itulah perkataan Rasul saat Jundub menyatakan keislaman. Begitu cepat ia menerima kebenaran hingga ia pun termasuk salah satu sahabat yang pertama memeluk Islam.
Lalu bagaimana dengan kabar tentang kematian yang sendirian? Itupun terbukti pada masa Utsman bin Affan, yang kemudian menambah keimanan kaum muslim atas apa yang dikabarkan oleh Rasulullah. Sebagaimana yang di riwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Ketika Utsman mengasingkan Abu Dzar ke ar-Rabadah. Di ar-Rabadah Abu Dzar merasa hidupnya sudah tidak lama lagi. Ia tidak ditemani seorang pun kecuali istri dan anaknya. Abu Dzar berpesan kepada keduanya ; (Jika kelak aku telah meninggal), maka mandikanlah aku, kafanilah aku, kemudian letakkanlah aku di tengah jalan. Lalu katakanlah kepada rombongan orang yang pertama melintasi kalian, “ini Abu Dzar, ia sahabat Rasulullah, untuk itu, tolonglah kami menguburnya.” Ketika Abu Dzar meninggal, maka keduanya melakukan apa yang dipesan Abu Dzar. Kemudian keduanya menaruh jenazah Abu Dzar di tengah jalan. Abdullah bin Mas’ud bersama para rombongan Iraq datang. Mereka tidak melihat apa-apa kecuali jenazah yang ada di tengah jalan. Ketika unta hampir menginjaknya, tiba-tiba seorang anak mendekati mereka, lalu berkata, “Ini Abu Dzar, ia sahabat Rasulullah, untuk itu, tolonglah kami menguburnya.” Melihat itu, Abdullah bin Mas’ud mulai menangis hingga air matanya bercucuran, ia berkata, “Rasulullah saw benar. (Beliau bersabda) Abu Dzar yang berjalan kaki sendirian, mati sendirian dan dibangkitkan sendirian.” Kemudian, ia dan para sahabatnya berhenti, lalu menguburnya.”
Itulah kisah Jundab bin Janadah atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Dzar al-Ghifari. Namanya tak asing di telinga, seorang sahabat yang termasuk as-sabiqunal awwalun (orang yang masuk Islam pertama kali). Pengorbanan untuk membawa masyarakatnya ikut merasakan indahnya Islam telah ia laksanakan, berbuah manis dengan banyaknya Bani Ghifar yang bertaubat dan memilih untuk mengikutinya.
Kesendiriannya berbuah manis ketakwaan, yang ia bawa hingga akhir hayatnya. Ini membuktikan kepada kita semua, bahwa kesendirian tak selalu berbuntut keterpurukan. Ia ada sebagai ujian, dalam mendekatkan diri kepada Allah. Wallahu a’lam bis shawab. []
Referensi: Siroh Nabawiyah Sisi Politis Perjuangan Rasulullah saw, Prof. DR. Muh. Rawwas Qol’ahji (hal.429)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Abu_Dzar_Al-Ghifari