MALAM kamis. Sebagian teman sekampung yang juga kebanyakan teman sekelas di kelas 4 SD Inpres Balekambang sudah ribut dan berduyun-duyun menuju rumah Ceu Ero, juragan kerupuk dorokdok yang punya teve hitam putih.
Ada serial ACI saat itu.
Kardi, namanya hanya Kardi saja seingat saya, berujar ke saya, “Ayo kita ke rumah Bu Cumcum. Kita belajar ngaji.”
BACA JUGA: Si Doel Anak Sekolahan
Saya bimbang. Saya penggemar berat Amir, Cici dan Ito dan Wati, dan sejak sore saya sudah mempersiapkan diri ingin menontonnya di Ceu Ero lewat televisi yang menggunakan accu sebagai sumber powernya.
Tapi tak urung saya ikut sama Kardi, bersama dengan Neng Munawaroh, teman perempuan sekelas yang diam-diam saya suka. Ya gitulah namanya anak SD jadul, jadi ga ada yang macam-macam.
Rumah dinas bu Cumcum bersebelahan dengan lapangan upacara serba guna (kadang dipakai juga untuk kegiatan olahraga kami dan main galah santang).
Bu Cumcum membuka pintu. Dan dengan diterangi lampu semprong, kami membuka tuturutan. Diajarinya kami membaca Alif fatah A dan Alif domah U dan seterusnya.
Seusai ngaji, bu Cumcum mengajak kami mengobrol. Ia waktu itu mengenakan mukena. “Saad cita-citanya mau jadi apa?”
Saya malu. Tapi saya menjawab pengen jadi penulis. Bu Cumcum mendoakan saya kemudian.
BACA JUGA: Gaji Dokter
Lepas pukul sembilan malam, kami pamit dari rumah Bu Cumcum. Malam itu, saya tak bisa tidur karena bahagia sekali ditanya cita-cita oleh guru agama yang senantiasa tak lepas jilbabnya, satu hal yang sangat jarang saya temui periode 80-an itu.
Saat mata sudah penat dan perlahan terpejam, sayup saya mendengar siaran wayang golek di radio entah dari rumah siapa yang mana. Malam itu, saya sejenak lupa ACI dan sangat ingin jadi penulis. []