Oleh: Kang Didin Goreng, didinlafendra@gmail.com
LELAKI berkaos biru itu meletakkan ember di lantai. Bau karbol segera menyebar menaburkan aroma cemara. Kemudian mulai mengelus-elus hamparan keramik putih itu dengan kain pel. Ia sangat berhati-hati seperti sedang meninabobokkan bayi.
Hari ini adalah tanggal dua puluh sembilan. Itu merupakan angka paling cantik dari setiap waktu yang dia lewati. Istrinya sudah menunggu, anaknya yang masih TK pun pasti sedang menantikan sebuah bungkusan mampir ke pangkuannya.
“Mas, aku mau beli baju. Masa setiap bepergian pakai yang itu-itu aja?” tiga hari yang lalu istrinya setengah merengek.
“Aku juga mau sepatu baru ya, Pak. Yang lama udah jelek!” Anaknya yang sedari tadi anteng main tiba-tiba ikut bersuara.
Jika istrinya cuma setengah merengek maka bocah lelaki itu yang merengek beneran.
“Iya nanti hari Kamis.”
BACA JUGA: Bantal Guling
“Janji ya, Pak!” Mata anak itu berbinar.
Juned tersenyum. Lalu mengangguk.
“Horee…!” Bocah itu akhirnya bersorak riang. Ia belum mengerti hitungan hari. Tapi melihat anggukan mantap bapaknya, itu artinya permintaan akan segera dituruti.
Ini sudah hari Kamis. Ada dua janji yang harus dipenuhi. Tapi lelaki berkemeja garis-garis cokelat yang duduk di belakang meja berlapis kaca itu tak ada tanda-tanda untuk memanggil. Menoleh pun tidak. Hanya sibuk dengan komputernya. Dia memang sering menyebalkan. Cerewet minta ampun. Galak tak tanggung-tanggung. Tapi ketika anak buahnya memasuki waktu gajian, dia pura-pura cuek. Berlaga pikun.
Juned menggeser embernya. Berdehem berkali-kali. Lalu pura-pura batuk. Menyapu seluruh permukaan lantai dengan sangat lambat. Masa orang sepintar itu tak mengerti sih? Ayolah, anak istriku sudah menagih janji!
Reyhan tahu. Mana mungkin ia lupa kewajiban. Setiap tetes keringat anak buah adalah modal bagi kemajuan usahanya. Bahkan nabi mengatakan, bayarlah upah pekerjamu sebelum keringatnya kering.
“Juned…!” panggilnya. Ia tahu lelaki yang sedang memegang gagang pel itu perasaanya sedang gelisah.
Yang dipanggil mendongak. Dengan gesit ia menghampiri.
“Nanti ambil gajimu setelah istirahat.”
BACA JUGA: Bangkrutnya Surau Kami
“Lho, gak sekarang aja tah, Pak?” Juned bertanya kikuk. Perasaannya bercampur antara cemas dan kesal.
Kalau habis istirahat berarti uang itu baru sore bisa dikasih ke istrinya. Sedangkan siang ini dia harus segera belanja. Memaksa bossnya juga tidak mungkin.
“Saya ingin kamu sholat duhur dulu.”
“Aih, ah. Anu…” Juned gelagapan. “Kenapa begitu, Pak?”
“Saya perhatikan Kamu tidak pernah sholat! Maka pembayaran gaji bulan ini syaratnya kamu harus sholat.”
Juned melongo. Selain cerewet, boss ini juga aneh. Jika ini dikatakan bercanda, tapi air mukanya tak sedikitpun menunjukkan sebuah kelakar. Kalaupun pun serius, kenapa tak mensyaratkan hal lain yang lebih professional?
“Iya, Pak. Saya pasti sholat.”
Sampai pada waktu yang dijanjikan. Juned mengetuk pintu kaca itu. Berjalan dengan hati-hati dan meletakkan badannya pada salah satu kursi yang berjejer di samping pintu. Tapi apa yang diharapkan Juned tampaknya tidak akan segera cair. Bossnya masih pura-pura pikun.
“Kenapa Kamu tidak sholat, Juned?” Reyhan menegur tanpa sedikitpun mengalihkan wajah. Kedua tatapnya masih fokus pada layar komputer.
“Eh, sholat kok, Pak!” Lelaki itu memerah muka.
“Memangnya bisa sholat sambil tidur?” Kali ini tatapan itu tegas mengarah.
Juned tak bisa jawab. Mukanya semakin merah. Dari mana bossnya tahu kalau sewaktu istirahat tadi dia gunakan untuk mendengkur?
“Ya sudah, gaji Kamu saya tahan!” Reyhan kembali ke monitornya. Ia kembali bersikap seolah-olah tak ada orang lain yang sedang menunggu.
Juned semakin gelisah. Boss ini memang rese! Sholat itu kan soal manusia dengan Tuhan. Kenapa harus dihubung-hubungkan dengan pekerjaan?
Cukup lama ia menunggu reaksi. Tapi Reyhan tetap diam. Mungkin orang ini benar-benar pikun! Semoga saja.
“Saya tanya, kenapa Kamu tidak sholat?” Akhirnya pertanyaan Reyhan pecah. Matanya tajam menyorot.
BACA JUGA: Bagaimana Aku Bisa Membayangkan Wanita Lain?
“Itu, Pak. Eh, anu… celana saya kotor.”
“Oh, kamu habis pipis gak cebok?” Tatapan tajam Reyhan itu membuat Juned semakin salah tingkah.”Kenapa, air PAM-nya gak ngalir? Ko si Mardi gak ngasih tau kalau ada masalah penting di kantor kita?”
Duh, bisa makin panjang nih nyerocosnya.
“Kalo sholat saya harus pake sarung, Pak” jawabnya sambil garuk-garuk pipi.
Hmm, pria itu menghela nafas. Orang ini banyak sekali alasan!
“Ya sudah, nanti saya sediain sarung!” Akhirnya Reyhan melunak.
Lalu menyerahkan amplop berisi uang gaji sebulan. Baginya, apa yang telah menjadi hak orang lain memang harus secepatnya disampaikan.
Esoknya seperti biasa. Juned membawa ember berisi cairan karbol.
“Sarungnya kok gak dipake?” tanyanya dengan ekor mata memicing.
“Saya sholat di rumah, Pak. Jadi imam.”
“Ya bagus. Laki-laki memang cocoknya jadi imam. Apalagi sudah berkeluarga.” []
BERSAMBUNG