TANYA: Saya memiliki gangguan diri sejak beberapa tahun yang lalu. Belum lama ini, kondisi saya mulai pulih secara signifikan. Akan tetapi saya merasakan benih penyakitnya masih tersisa. Apakah saya harus beritahu hal ini apabila ada seseorang yang datang melamar saya?
JAWAB: Kami kutip sepenuhnya dari islamqa.ca., Kami mohon kepada Allah Ta’ala semoga Anda diberi kesembuhan dan keselamatan. Yang tampak bagi kami bahwa penyakit Anda bersifat halusinasi (was-was), tidak ada dalam kenyataan hidup Anda.
Seandainya pun penyakit itu dinyatakan ada, maka kami katakan, jika penyakit itu tidak berpengaruh bagi kehidupan berkeluarga dan pendidikan anak, maka tidak perlu memberitahu pelamar tentang hal tersebut. Namun jika berpengaruh, sekiranya dapat merusak hubungan suami isteri dan menyebabkan tidak teraihnya kasih sayang dan ketentraman, maka wajib baginya memberitahu.
Menyembunyikannya dianggap sebagai bentuk penipuan. Sedangkan menipu telah dijelaskan terlarang secara umum berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (رواه مسلم)
“Siapa yang menipu kami, maka bukan dari golonganku,” (HR. Muslim, no. 102).
Hendaknya Anda tidak menghiraukan perasaan was-was dan khayalan terkait penyakit Anda. Umumnya hal itu merupakan tipudaya setan untuk mencegah Anda dari perkawinan dan menjaga kehormatan.
Kaidah dalam memberitahu pelamar tentang penyakit yang diderita wanita yang dilamar:
1- Penyakitnya dapat memengaruhi kehidupan berkeluarga serta dapat berpengaruh bagi dia dalam memenuhi hak suami dan mengurus anak.
2- Menakutkan bagi suami, baik dari penampilannya maupun aromanya.
3- Penyakit bersifat nyata dan tetap, bukan khayalan dan perasaan was-was, bukan pula penyakit tiba-tiba atau penyakit yang akan hilang sementara waktu atau setelah pernikahan.
Ulama Lajnah Ad-Daimah Lil-Ifta pernah ditanya, “Ada seorang gadis muda yang dari waktu ke waktu mengalami kerasukan setan. Kadang hilang, kadang timbul lagi. Sudah beberapa orang yang datang hendak melamar, namun pihak keluarga menolak menikahkannya karena mereka tidak tahu bagaimana cara memberitahu para pelamarnya. Mereka sangat ragu-ragu dalam masalah ini, sehingga kesempatan menikah menjadi hilang percuma.
“Akhirnya pihak keluarga akan memilihkannya seorang calon suami yang juga memiliki kekurangan dalam hal tertentu (cacat), sehingga dia akan lebih memudah menerima sang gadis tersebut. Sekarang akan datang seorang pelamar yang memiliki kekurangan bahwa dirinya mandul. Namun datang hendak melamar yang tak lain adalah sepupunya, dia mengatakan telah mengetahui penyakit yang dideritanya. Cuma problemnya bahwa ibu dari pemuda ini (bibinya sang gadis) juga menderita kasus serupa.
“Dan ketika kami tanya pendapat seorang dokter tentang rencana pernikahan tersebut, dia menjawab bahwa dirinya tidak menganjurkannya, karena menurutnya kemungkinan anak yang lahir keduanya menderita penyakit serupa cukup besar.
“Pertanyaannya adalah, apa hukum syariat tentang pernikahan semacam ini? Apakah jika seAndainya anak yang lahir mengidap penyakit serupa kami dianggap telah bertindak zalim, karena telah ikut membantu terwujudnya pernikahan tersebut? Karena kami mengetahui kemungkinan akan lahir keturunan dari perkawinan tersebut cukup besar?”
Maka mereka menjawab, “Hendaknya mereka tidak mencegah anak gadis itu dari pernikahan dan menikahkannya dengan orang yang datang melamarnya. Kemudian menyerahkan urusannya kepada Allah dan meninggalkan ucapan dokter yang melAndasi pAndangannya berdasarkan kemungkinan.
“Karena pernikahan mengandung kemaslatan kedua belah pihak, melindungi gadis dari kesendirian. Syaratnya adalah sang gadis ridha dengan suami yang telah mendapat ridha dari walinya.”
Syekh Abdul-Aziz bin Baz, Syekh Abdur-Rozzaq Afifi, Syekh Abdullah bin Ghudayyan, Syekh Shaleh Al-Fauzan, Syekh Abdul-Aziz Al-Syaikh. (Fatawa Lajnah Da’imah, 18/194)
Mereka juga ditanya; “Jika seorang wanita memiliki problem dalam rahimnya, atau dalam masalah menstruasinya yang mengharuskan adanya terapi sehingga mungkin akan mengakibatkan tertundanya kehamilan, apakah perkara tersebut harus disampaikan kepada pihak yang melamar?”
Mereka menjawab: “Jika problem tersebut bersifat tiba-tiba yang juga dapat terjadi pada wanita sebayanya, kemudian dapat hilang, maka tidak wajib memberitahunya. Akan tetapi apabila penyakitnya bersifat kronis, atau bukan penyakit ringan, kemudian saat dia masih mengidapnya dan belum sembuh, datang orang yang melamarnya, maka walinya harus memberitahu pelamar tentang hal tersebut.”
Syekh Abdul-Aziz Al-Syaikh, Syekh Shaleh bin Fauzan Al-Fauzan, Syekh Bakr Abu Zaid. (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 19/15)
Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Seorang laki-laki melamar seorang wanita, sedangkan sang wanita dikenal memiliki cacat fisik, akan tetapi cacatnya tertutup tidak jelas sementara cacat tersebut masih diharapkan kesembuhannya, seperti belang, kusta, apakah hal tersebut harus disampaikan kepada sang pelamar?
Beliau menjawab: “Jika seseorang melamar seorang wanita yang memiliki cacat tersembunyi sedangkan ada orang yang mengetahuinya, maka apabila si pelamar menanyakannya kepada orang tersebut, wajib baginya menjelaskannya. Perkara ini telah jelas. Akan tetapi, apabila dia tidak menanyakannya, maka hendaknya orang tersebut memberitahunya, hal ini termasuk bab nasihat, apalagi jika cacat tersebut sesuatu yang tidak ada harapan sembuh.
“Adapun jika cacatnya ada harapan sembuh, maka perkaranya lebih ringan. Akan tetapi ada penyakit yang mungkin hilang namun memerlukan waktu yang lama, seperti kusta misalnya –jika benar dapat sembuh- saya sampai sekarang tidak tahu ada orang yang sembuh dari penyakit ini.
“Maka hendaknya dibedakan masalahnya, antara yang ada harapan sembuh dalam waktu dekat dengan yang ada harapan sembuh dalam jangka panjang. Liqoat Babul Maftuh, 5/Soal no. 22). []
Sumber: https://islamqa.info/id/111980