SULTAN Murad II sedikit sedih. Pasalnya ia sudah mengirimkan sejumlah pengajar untuk putranya, tapi tak satupun yang didengar dan ditaati. Putranya tak kunjung mengkhatamkan hafalan Qurannya. Ini betul-betul mengganggu pikirannya. Ya, ini betul-betul menyedot energinya, di tengah kesibukannya mengurusi pemerintahan.
Bagaimana mungkin anak itu jadi khalifah yang kuat jika anak itu enggan mengakrabi alquran. Bagaimana bisa seorang khalifah yang memimpin sebuah institusi agung tapi ia tidak dekat dengan kitabullah. Pertanyaan ini cukup mengganggu pikirannya.
Setelah ia mencari informasi dari berbagai sumber, akhirnya ia berhasil mendapatkan seorang guru yang ulama, Ahmad bin Ismail al Kurani.
BACA JUGA: Asy-Syifa binti Abdullah, Guru Wanita Pertama dalam Islam
Suatu hari Muhammad, putra Sultan Murad ini, seperti kebiasaannya, tertawa dalam majelis demi melihat gurunya yang baru itu. Seakan ia ingin mengulang kebiasaannya yang lalu supaya guru itu tidak betah dengannya dan pergi.
Tapi di luar dugaannya, sang guru memukulnya dengan pukulan yang sangat keras. Pukulan ini membuatnya meringis, namun begitu berkesan. Dan inilah guru yang membimbingnya menyelesaikan hafalannya.
Gurunya yang lain, yang juga punya andil besar dalam melambungkan himmah anak ini adalah Aaq Syamsuddin. Syaikh inilah yang mengantarnya menjadi semakin berkilau sampai ia dewasa kelak, ketika ia memegang tampuk khilafah. Guru yang garis kakeknya bersambung kepada Abu Bakr as-Shiddiq ini, tak bosannya menekankan dua hal pada muridnya; jihad fi sabilillah dan melanjutkan usaha merebut kota konstantinopel.
Anjuran satu paket yang tak terpisahkan. Karena kota konstantinopel yang kokoh itu hanya mungkin ditaklukkan dengan jihad. Karena kota strategis yang angkuh itu hanya mungkin bisa direbut dengan cara berdarah-darah. Sang guru ini tak henti-hentinya menyalakan obsesi kebesaran ke dalam hati sang murid bahwa sudah saatnya Kota Katolik itu direbut.
Hadits Rasulullah di atas sumber inspirasinya, sang gurulah yang selalu meniupkan napas kehendak ke dalam hati sang murid. “Kalau kakek buyutmu telah gagal merebutnya, maka Andalah yang harus berhasil. Anda harus berusaha agar Andalah pemimpin yang dimaksud dalam hadits Rasulullah di atas dan sebaik-baik tentara yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah pasukanmu…”. Inilah kira-kira yang selalu menjadi inti taujih (arahan) sang guru setiap ia berhadapan dengan sang murid.
Beginilah seharusnya guru memainkan perannya. Guru tidak sekadar bisa meniupkan semangat, tapi ia juga memberi arah yang jelas kepada murid. Taujih guru itu sangat besar perannya dalam membimbing semangat menggebu, mengarahkan otak cemerlang, dan mengekang emosi yang meledak-ledak.
Lihatlah mereka yang tidak dibimbing oleh guru, kebanyakan ide mereka merusak tatanan dunia. Karl Marx, adalah contoh paling nyata dari orang “cemerlang” yang tidak dibimbing oleh guru. Apa yang terjadi dengan ide-idenyanya? Sejarah bertutur tentang sepak terjang komunisme yang selalu bersimbah darah.
BACA JUGA: Dari Imam Asy-Syafi’i, Ini 3 Adab Murid kepada Guru yang Bisa Diteladani selama Belajar Daring
Akhirnya, bukalah lembaran sejarah. Sudah menjadi sunnatullah, bahwa tidaklah pemimpin rabbani atau penakluk raksasa yang muncul menebar keharuman, kecuali di belakangnya ada ulama rabbani yang punya andil dalam mendidik, mentaujih dan memberi arah kepada sang murid.
Contoh tentang hal ini sangat banyak. Abdullah bin Yasin terhadap Yahya bin Ibrahim pada masa Daulah Murabithin, Qadhi al-Fadhil atas Shalahuddin pada masa Daulah Ayyubiyah, dan Aaq Syamsuddin terhadap Muhammad al-Fatih bin Murad. Syaikh bagi murid terakhir inilah yang menjadi spirit kemenangan, energi ruhani yang selalu mengalir untuk sebuah capaian spektakuler sepanjang sejarah; Penaklukan kota Konstantinopel 29 Mei 1453 M. []
SUMBER: WAHDAH.OR.ID