Cerpen Chudori Sukra *
BAYI yang dikandung Hamidah sudah menginjak bulan ke sembilan. Dia berpegang pada tepian sungai, sarungnya basah terikat pada tubuhnya yang sintal dengan kulit kecokelatan. Wajahnya yang bulat dan putih memencarkan kelembutan hatinya, dihiasi tatapan matanya yang bening dan indah yang menunjukkan pandangan yang gembira pada dirinya.
Dari tempatnya berdiri dia tidak bisa mendengar maupun melihat desa yang dikaburkan tumbuhan jalar dan pepohonan di tikungan sungai. Di depannya membentang area penuh ilalang dan pepohonan tinggi. Keheningan sore itu tak terasa oleh ramainya suara-suara unggas.
Udara penuh dengan harum bunga-bunga dan dedaunan dari pohon-pohon di sekitar sungai. Dari arah rawa terdengar gemerisik bunyi ilalang yang tersingkap oleh makhluk yang kelihatannya lebih besar dari tikus. Dan ketika ia mendekat, nampak lebih besar dari seekor kucing.
BACA JUGA: Bantal Guling
“Hewan apakah itu? Binatang jenis apa itu?” ia bertanya-tanya dalam hati.
Ketika Hamidah mendengar suara geraman, ia terperanjat kaget. Sontak ia melompat mundur ke belakang. Kini, dalam penglihatannya sangat jelas. Itu harimau yang besar sekali, bahkan perutnya begitu besar membusung ke bawah. Apakah makhluk itu sedang hamil, sebagaimana dirinya saat ini? Sepertinya harimau itu hanya melangkah pelan-pelan, dan tak bisa berlari.
Nampak telinganya tertarik ke belakang, seakan menunjukkan kewaspadaan. Dia menggerakan kepalanya dan menggeram, lidahnya memerah dan taringnya menguning seperti daun-daun pohon. Hamidah terkesima bercampur rasa takut yang amat sangat. Tiba-tiba kekakuan melingkupinya, mematikan pikirannya. Dia memberanikan diri unuk tidak bergerak atau mengalihkan pandangannya. Harimau itu mengendus-endus seperti mencium sesuatu, kemudian kian mendekat, hanya dalam jarak lima meter saja.
Percuma saja baginya untuk berlari. Di samping ia merasa lelah sejak siang tadi mencari pohon kangkung dan genjer untuk disayur, juga merasakan beban berat di kandungannya yang sudah menginjak sembilan bulan.
Tetapi apa yang harus dilakukannya? Ia hanya terdiam dengan kaku. Bagi harimau juga barangkali terheran-heran, bahwa di sore itu tiba-tiba ia berjumpa dengan mangsa empuk berupa daging manusia dalam suatu pertemuan yang tak diduganya.
Hamidah dan harimau itu saling pandang. Di luar geraman yang muncul dan sorot matanya yang tajam, dari waktu ke waktu ancamannya nampak semakin berkurang. Harimau itu tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda akan menyerangnya. Sepertinya ia kurang tertarik pada wanita itu. Cakarnya yang tajam menyembul di hadapannya. Ia seperti menggali lubang di sekitar rumput yang agak basah. Tatapan matanya telah berubah. Hamidah menangkap perubahan yang mengejutkan dari suasana hati yang terpancar itu.
Namun, senja yang mulai merayap dari balik bukit yang sejak tadi melenyapkan pemandangan warna-warni, kini telah menjadi abu-abu yang melayang tanpa terasa ke dalam kegelapan. Samar-samar kabut mulai muncul dari sungai dan telah menyebar menyelimuti daratan. Lengkingan jangkrik dan serangga-serangga lain di sekitarnya menandakan pergantian dari siang menuju malam yang gelap.
Kini suasana menjadi hening. Hamidah sudah pulih dari rasa takut dan gentar pada harimau itu. Dia menggigil kedinginan, tangannya kini menjelajah pada perutnya, kesadarannya muncul. Ada jiwa lain yang juga hidup dalam kandungannya. Dia masih bisa melihat bentuk samar sang harimau dalam keremangan. Hamidah menebak-nebak apa yang dikehendaki harimau itu. Apakah ia juga merasa takut pada dirinya?
BACA JUGA: Raihan!
Sekali lagi harimau itu menggeram. Tubuhnya semakin tegang dan gemetar. Dengan gerakan tak terduga, tiba-tiba Hamidah memutuskan menyelam di bawah air. Ia berenang hingga menyentuh dasar sungai. Segera ia menuju sisi sungai di sebelahnya. Sesekali ia muncul ke permukaan ketika merasa paru-parunya kehabisan udara. Dia terus berenang dengan panik menuju tepi sungai, hingga dia pun dapat melihat lampu-lampu jalanan yang menyala di ujung desa.
***
Penduduk desa Karangasem dipenuhi kepanikan ketika ibunya menyebarkan cerita yang dilebih-lebihkan dari versi yang diceritakan anaknya. Para wanita panik bagaikan ayam-ayam betina melihat elang yang berputar-putar di atap rumah. Mereka segera menarik anak-anak mereka dalam pelukan, kemudian mengunci pintu rapat-rapat. Mereka memanggil para lelaki agar melakukan tindakan terhadap harimau ganas yang membinasakan itu. Para lelaki bergegas ke sana kemari, khawatir akan kerbau, kambing dan ayam-ayam di dalam kandang.
Hamidah terbaring lemas di atas dipan ketika seorang kepala desa dan beberapa kaki-tangannya datang untuk menanyakan di mana gerangan harimau itu berada. Ibu Hamidah melanjutkan ceritanya dengan heboh mengenai pertemuan anaknya dengan “makhluk berbulu” yang mengancam dan menyeramkan itu.
Kepada desa beralih pandangannya pada Hamidah. Tetapi, dia tenang-tenang saja, bahkan meminta agar harimau itu tak usah diburu dan dibunuh. Sontak sang kepala desa mengerutkan kening dan merasa heran pada pernyataan Hamidah.
“Ya Allah, Hamidah!” teriak ibunya melengking. “Kamu diam saja, biar Ibu yang menjelaskan pada Pak Kades.”
Pandangan kepala desa dan kaki-tangannya beralih lagi, “Jadi, bagaimana, Bu, coba ceritakan.”
“Begini Pak Kades,” ia membetulkan lipatan sarungnya yang hampir melorot, “Binatang buas itu bersiap-siap menerkam anak saya. Dia menggeram berkali-kali, matanya menyorot tajam dan taringnya menyeringai. Ya ampuun Pak Kades… kalau bukan karena pertolongan Allah, anak saya sudah habis dikoyak-koyak binatang buas itu… apakah Pak Kades tega membiarkan anak Pak Kades mati dikoyak-koyak binatang buas?”
Kepala desa itu mengangkat bahunya, sorotan matanya tajam diliputi perasaan marah dan takut. Pandangannya kemudian menerawang, membayangkan empat anak-anaknya, dan satu di antara mereka sudah menikah.
“Ya, kita harus hati-hari dan waspada,” ucapnya, “bukan suatu yang mustahil menjelang lebaran ini, harimau-harimau buas dari hutan kekurangan pangan lalu datang ke sini untuk mencari mangsa. Kita tidak boleh lengah dengan keadaan ini. Untuk keselamatan dan ketenteraman warga desa, bagaimanapun harimau itu harus diburu dan dimusnahkan.”
Para kaki-tangan memperhatikan kata-kata Pak Kades dengan perasaan gugup dan waswas. Membayangkan binatang buas yang berkeliaran di malam hari, tubuh mereka merinding. Binatang buas yang berjalan di sekitar semak dan rumput ilalang, dalam posisi yang menguntungkan bagianya untuk diam-diam menerkam mangsanya.
“Baiklah kalau begitu,” kata Pak Kades tegas.
Seorang kaki-tangannya terdiam sambil menundukkan kepala. Pak Kades segera menyentakkan bahunya seraya menyatakan bahwa ia pengecut. Seketika itu, muncullah Bang Somad, menantu Pak Kades bersama dua pemuda sambil menyampirkan sebuah senapan di pundaknya.
BACA JUGA: Disaster Jono
“Benar apa yang dikatakan Hamidah? Benar Hamidah?” ia bertanya langsung pada Hamidah. Wanita itu mengangguk pelan, tetapi kemudian ia menyatakan bahwa harimau itu tak usah dibunuh. Kasihan. Lalu, sontak ibunya menyuruh Hamidah diam dan jangan ikut campur urusan laki-laki.
Baru saja Pak Kades menceritakan kejadian itu dengan singkat, Bang Somad langsung menggenggam senapan laras gandanya dengan rasa kesal dan gemas. Semangat berburu tiba-tiba bangkit dalam dirinya.
“Bagaimanapun kita harus memikirkan nasib para wanita dan anak-anak. Ini adalah tanggung jawab kaum lelaki untuk melindungi mereka. Sekarang siapa yang akan ikut dengan saya untuk membunuh harimau itu?”
Beberapa pemuda mengacungkan tangannya dan menyatakan siap membantu. Kemudian kata Bang Somad lagi, “Nah, kalau kita beramai-ramai memburu binatang itu malam ini juga, saya yakin besok sebelum matahari terbit, bangkai binatang itu sudah kita arak ramai-ramai keliling desa.”
Puluhan pria berkumpul di depan kantor kepala desa. Sebagian merasa ragu, namun akhirnya terketuk pada kata-kata Bang Somad yang dikenal sebagai “jago tembak” di desa Karangasem.
“Ayo kita berangkat, saya percaya pada kalian semua!” kata Bang Somad sambil memainkan jari-jarinya pada senapan.
Lalu, para lelaki itu pergi menuju arah sungai.
“Tak usah risau, Nak, percayalah pada mereka,” kata ibunya Hamidah sambil menutup pintu rapat-rapat dan menguncinya.
Hamidah bangun dan memandang ke luar jendela. Bulan menebarkan kelembutan pada segala yang disinarinya. “Ini malam lailatul qadr, malam pengampunan Tuhan. Sebaiknya mereka tidak melakukan itu,” protes Hamidah dalam hatinya.
***
Mereka bergerak dan saling bicara dengan suara tertahan, namun juga masih terasa antusias saat mempersiapkan diri untuk perburuan. Ketika mendekati sungai mereka terdiam dan mempertajam pendengarannya. Terdengar oleh mereka suara-suara serangga dan gemericik air sungai.
“Mereka seharusnya melepaskan saja harimau itu,” kata Hamidah dengan sorotan mata mengarah ke luar jendela.
“Ngomong apa kamu, Nak?” kata wanita tua itu ketus, “Mereka harus membunuh harimau itu sebelum harimau itu membunuh kita semua.”
“Kalau harimau itu sedang mencari mangsa, orang yang pertama kali menjadi korban tentu saya sendiri. Tapi sepertinya binatang itu sedang mencari tempat istirahat.”
“Tidak, itu mustahil, Nak! Binatang buas yang datang ke desa, sama saja dengan penculik atau PKI, dan mereka tak mungkin segera kembali sebelum tujuannya tercapai.”
“Lalu, apa tujuannya?”
“Membunuh… menghabisi kita semua! Mereka adalah pembunuh yang mencari peruntungan di sekitar desa.”
“Tapi binatang itu sama sekali tidak membunuh siapapun?”
Ibunya mendengus kesal namun tidak lagi mengucapkan sepatah kata pun. Kemudian Hamidah melanjutkan, “Harimau itu hanya lima meter jaraknya dari tubuh saya. Kalau dia mau mencari mangsa, mudah saja baginya untuk menerkam, hanya sekali lompatan. Tapi dia tidak melakukannya. Kenapa itu? Apakah Ibu mau menjelaskan?”
“Sudah, diam Hamidah! Diam!”
Pandangan Hamidah menerawang, kemudian menghela napas, dan katanya lagi, “Waktu harimau itu memperhatikan saya, segera saya tak berkutik, terdiam kaku di tempat. Badan saya merinding. Kedua matanya menatap tajam tapi kemudian terlihat sayu dan melemah. Dia menunduk malu, sepertinya tidak ada sifat kejam yang membuatnya hendak membunuh manusia.”
“Sudah, diam Hamidah! Kamu itu seperti almarhum bapakmu yang selalu merasa sejuk ketika angin berhembus ke arahnya. Padahal angin itu bisa menerbangkan wabah, bisa membawa malapetaka. Buktinya bapakmu sendiri mati karena masuk angin…”
“Bapak meninggal karena sakit jantung, Bu?”
“Ya, tapi selama beberapa hari dia mengeluh masuk angin. Ah, sudahlah, itu soal lain. Yang penting kamu harus waras, jangan seperti bapakmu.”
“Sebaiknya Ibu tidak membicarakan hal-hal negatif tentang Bapak…”
“Ya, semoga Allah melapangkan kuburnya, tapi kamu harus waras, jangan seperti dia.”
Hamidah berdiri murung di sisi jendela, sambil berusaha menangkap apa yang bisa didengarnya. Ada keheningan yang janggal di desa itu, seolah dibungkus dengan kain kafan. Tiba-tiba rasa sakit yang tajam menusuk di sekitar perutnya. Tangannya pelan-pelan mengelusnya.
“Ada apa Hamidah?” tanya ibunya kaget.
“Ah, bukan apa-apa, cuma sedikit mulas.”
“Minum air putih, dan berbaringlah,” perintah ibunya.
Hamidah tetap berdiri di sisi jendela sambil mengelus-elus perutnya. Terbayang-bayang dalam ingatannya ketika harimau itu mencakar-cakar rumput yang basah lalu membaringkan tubuhnya di sekitar ilalang. Seketika itu Hamidah terperanjat. Tiba-tiba ia mendengar suara tembakan senapan yang memekakkan telinga. Kemudian disusul dengan suara tembakan kedua, ketiga dan seterusnya saling bersahutan. Tubuhnya bergetar hebat seolah tembakan itu ditujukan ke arah perutnya.
BACA JUGA: Ia yang Duduk di Sebelah
Sdua keputusan seketika terdengar suara auman seekor harimau. Bukan geraman ringan seperti yang didengarnya sore itu. Tapi kali ini penuh dengan suara kesakitan dan perlawanan. Selama beberapa saat, suara auman itu bagai suara tangisan yang panjang. Ya, suara auman itu seperti suara penderitaan yang mendalam. Terdengar memenuhi hati dan telinga Hamidah. Perutnya semakin mulas dan mual-mual. Wajahnya tegang karena menahan rasa sakit. Keringat bercucuran dari tubuhnya yang sintal dengan perut yang membuncit. Rintihan pecah di antara bibirnya yang sejak tadi terkatup.
“Ayo, Nak, ke sini Nak!” ibunya menuntun Hamidah agar segera berbaring, “Ibu mau panggilkan bidan sekarang…”
Tak berapa lama, seorang bidan dan seorang pembantunya datang, sambil membawa obat-obatan dan beberapa alat untuk membantu persalinan. Hanya dalam waktu setengah jam, dua bayi laki-laki kembar berhasil dikeluarkan dari perut Hamidah. Ia menatap dua bayinya dengan senyum gembira, kemudian menimang bayi itu satu persatu secara bergantian.
***
Sambil merendam kain-kain bekas persalinan di dapur, ibu Hamidah melongok keluar jendela ketika mendengar kerumunan orang berdatangan.
“Hamidah, Hamidah, mereka sudah datang!” kata sang ibu saat Hamidah sedang menimang salah satu bayinya. Udara mendadak dipenuhi sorak-sorai para lelaki dan perempuan di luar rumah. Wanita tua itu membuka pintu dengan hati-hati, memanggil salah seorang di antara kerumunan.
“Itu lihat, Bu! Harimau itu besar sekali! Mereka menembaknya di sekitar rerumputan dan ilalang di dekat sungai. Mereka berhasil menembaknya tiga kali, lalu mengepungnya saat harimau itu menggeram-geram kemudian mati di tempat. Setelah itu apa yang terjadi?”
“Apa yang terjadi?” tanya ibu Hamidah.
“Setelah membunuh harimau itu, mereka mendengar suara auman berkali-kali dari mulut binatang itu. Tiba-tiba, di bawah sinar bulan yang terang, mereka menemukan dua anak harimau yang masih bayi di sekitar rerumputan. Bang Somad mengatakan bahwa anak-anak bayi itu baru berumur beberapa jam. Barangkali itulah yang membuat harimau itu mengaum berkali-kali, serta mengadakan perlawanan.”
“Lalu, apa yang dikatakan Bang Somad lagi?”
“Katanya, dia mau menjual bayi-bayi harimau itu dengan harga yang pantas.”
Tak lama kemudian, muncul sebuah mobil berlogo sirkus di belakang gerbongnya. Sopirnya turun ditemani dua orang yang mengikutinya. Belum sempat mereka menanyakan satu dua patah kata, namun kemudian terperanjat melihat seekor harimau tergeletak di lantai. Konon, harimau itu terlepas dari kandangnya beberapa hari lalu. Dan ia mencari-cari tempat yang nyaman untuk melahirkan bayinya. []
*Penulis adalah Pengasuh Pondok Pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Tulisan-tulisan saya bisa dijumpai di harian Kompas, Republika, klipingsastra.com, kabarmadura.id, kawaca.com, simalaba.net, Jurnal Toddoppuli, Ahmad Tohari’s Web dan lain-lain. Penulis bisa dihuhubungi lewat imel: chudorisukra@gmail.com