Oleh: Arief Siddiq Razaan
KEBAIKAN dalam pernikahan hanya diperoleh dari kesanggupan lahir-batin untuk berkarib ajar setia. Memahami bahwa keseimbangan berkasihsayang hanya akan diperoleh dengan cara menerima kekurangan dan saling mendukung untuk menuju kesempurnaan. Bahagia dalam pernikahan itu sederhana, saling menjaga perasaan dan tidak menyakiti pasangan.
Bukankah perasaan itu pintu memasuki kebahagiaan, maka ketika kita mampu bertanggungjawab secara moral dan mental untuk melindungi dan mengasihi pasangan di situlah puncak dari kemuliaan berkasih sayang.
Sebaik-baiknya pernikahan berpedoman pada satu perkara, setiap apa yang dilakukan berada dibawah pengawasan Allah SWT, seperti yang tertuang dalam firman; “Dan Aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku,” [1] dari itu saling memuliakan satu sama lain menjadi pilihan terbaik untuk mendapat karomah kebahagiaan yang tiada pernah ada batasnya.
Pernikahan dibangun atas dasar kedewasaan. Tinggalkan pikiran kanak-kanak yang ingin menang dalam pertengkaran. Sadarilah, kepuasanmu dalam mengalahkan pasangan ketika terlibat pertengkaran itulah sebenar-benarnya kekalahan. Sebab, nyatanya pikiranmu kembali pada pola kekanak-kanakan. Ketika sudah menikah harusnya berpaham bahwa perbedaan itu khasanah.
Jika ada pertikaian baiknya diselesaikan dengan jalan musyawarah. Tidak perlu ada amarah yang tertumpah, pahamilah; segala yang kita lakukan diawasi oleh Allah, maka jangan menunjukkan kebodohan kita di hadapan-Nya. Jadilah pasangan yang saling mendewasakan cinta, ingatlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda; “Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.”[2]
Jangan kotori pernikahanmu dengan pertengkaran, sebab pernikahan itu separuh agamamu. Adakah yang lebih membahagiakan selain berpijak pada kebenaran, bahwa kesabaran itu tak ada batasnya. Sabarlah dalam menghadapi pasangan yang kadang memunculkan kejengkelan, sebab pada saat itulah Allah tengah menguji sejauh mana kualitas kesabaranmu. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,” [3] maka ketika dirimu menyuburkan kesabaran niscaya keselamatan rumah tanggamu dapat disegerakan.
Mengapa demikian? Sebab, ketika terjadi pertengkaran, dirimu mampu mengendalikan emosi hingga menyadari bahwa pendidikan terbaik untuk mewujudkan rumah tangga sakinah, mawaddah, wa rahmah itu hanya akan dicapai dengan saling memaafkan. Bukalah pintu maaf selebar-lebarnya atas khilaf pasangan hidup, selama itu masih sebatas lisan.
Meminimalkan pertengkaran dapat menjadi jalan menuju surga. Bukankah perceraian kadang diawali pertengkaran, dengan dalil sudah tak ada kecocokan hingga meminta cerai pada pasangan. Bagi kaum hawa, pedomanilah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita mana saja yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” [4]
Perbedaan pendapat dalam rumah tangga itu wajar, maka selesaikan dengan lebih terpelajar. Jangan pula itu yang dijadikan dasar untuk saling beradu kata-kata kasar. Untuk para suami, janganlah gampang mengucapkan kata-kata ini ketika bertengkar dengan istrinya; “kuceraikan kau!” atau “aku tak sudi lagi tidur denganmu!”
Ingatlah apabila suami bersumpah untuk tidak mengumpuli istrinya lagi, maka setelah masa tunggu selama empat bulan, wajib bagi suami menceraikan istrinya kalau dia tidak mau rujuk kembali. Daripada memberhalakan emosi yang menyebabkan konfrontasi, lebih baik tenangkan diri.
Jika belum menemu mufakat, tak ada salahnya istrihatlah sejenak dan lakukan shalat dua rakaat. Insya Allah, akan membawa kedamaikan. Sesungguhnya “Shalat 2 rakaat yang diamalkan orang yang sudah berkeluarga lebih baik, daripada 70 rakaat yang diamalkan oleh jejaka (atau perawan)” [5]
Barangkali salah satu dari kebaikan yang didapat dari amalan shalat itu ialah kejernihan pikiran. Hingga sampailah pada kelapangan hati untuk saling menatap jauh ke depan, bahwa pernikahan ialah cara terhebat yang diberikan Allah untuk menyempurnakan kehidupan.
Semoga kita dapat menjadikan rumah tangga sebagai ibadah yang paling melembutkan hati. Bersyukurlah bahwa Allah telah menjawab doa-doa kita untuk menemukan jodoh terbaik yang bisa diajak berjalan beriringan; menyusur bahagia dunia-akhirat dengan pernikahan yang penuh syafaat. Aamiin. []
[1] Qur’an Surah At Thaahaa: 39.
[2] HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625
[3] Qur’an Surah Al Anfal: 46
[4 HR. Abu Dawud: 2226, Darimi: 2270, Ibnu Majah 2055, Amad: 5/283, dengan sanad hasan
[5] HR. Ibnu Adydalam kitab Al Kamil dari Abu Hurairah
***
Arief Siddiq Razaan, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus [KOMPAK] dan Komunitas Bisa Menulis [KBM].