SIAPA tak kenal touring? Dalam bahasa Indonesia, touring berarti pesiar atau jalan-jalan. Dalam beberapa tahun belakangan ini, kegiatan touring merebak dimana-mana. Selain mengasyikan karena dilakukan secara ramai-ramai, pesiar model ini juga murah meriah. Namun, ternyata dalam Islam, ada juga adab-adab yang mengatur soal touring, atau lebih tepatnya berkendaraan.
“Dan, Dialah Dzat yang telah menciptakan segala sesuatu bagi kalian, saling berpasang-pasangan, dan menjadikan bagi kalian kapal, binatang ternak dan tunggangan yang kalian kendarai, agar kalian duduk di atas punggungnya, kemudian kalian mengingat nikmat Rabb kalian apabila kalian telah brada di atasnya, dan kalian mengucapkan, “Subhanallahi alladzii sakhkhara lanaa hadzaa wa maa kunnaa lahu muqribiin wa innaa ilaa Rabbinaa lamunqalibuun (Maha Suci Rabb kami yang telah menundukkan semua ini bagi kami, padahal kami sebelumnya tidak sanggup untuk menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami).” {QS. az-Zukhruf 12-13}
Allah Ta’ala berfirman,
“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 8).
Di antara adab-adab berkendaraan:
1. Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan.
Seorang dianjurkan ketika awal memulai perjalanan agar membaca do’a naik kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita selalu mengingat Allah yang telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita kendaraan tersebut. Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:
Ali bin Robi’ah berkata, Aku menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan (kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada kendaraan, ia berkata, “Bismillah”. Tatkala beliau berada di atas punggungnya, beliau berkata, “Alhamdulillah”. Kemudia beliau berdo’a,
“Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza wamaa kunna lahu muqriniin”
Kemudian beliau mengucapkan, “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali ; lalu mengucapkan,”Allahuakbar” sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,
سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فاَغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa. Beliau ditanya, “Kenapa Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan apa yang aku lakukan, lalu beliau tertawa…”. [HR. Abu Dawud (2602), At-Tirmidziy (3446), dan An-Nasa’iy dalam Al-Kubro (8799, 8800, & 10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Mukhtashor Asy-Syama’il Al-Muhammadiyyah (198)]
2. Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan.
Wajib bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’: 56).
Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat, maka tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) & Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]
Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.
3. Larangan Angkuh atau Sombong Ketika Berjalan.
Allah Ta’ala berfirman, “Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Angkuh ketika berjalan dan berkendaraan termasuk dari sifat-sifat tercela yang tumbuh dari kesombongan dan ‘ujub terhadap diri sendiri. Dan, seorang yang beriman, di antara sifat-sifatnya, adalah tawadhu’ (rendah diri) dan al-istikanah (tenang), tidak ada sifat al-kibr (sombong) dan al-ghathrasah (menonjolkan diri).
Dan Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu- meriwayatkan bahwa Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Ketika seseorang berjalan dengan kain hullah yang mengagumkan dirinya, rambutnya tersisir rapi terurai sampai pada telinganya. Apabila Allah membenamkannya, maka dia akan berteriak terus sampai hari kiamat.” {HR. al-Bukhari (5789), Muslim (2088), Ahmad (7574) dan ad-Darimi (437)}
4. Pemilik Kendaraan Lebih Berhak Berada di Bagian Depan Kendaraannya.
Barangsiapa yang memiliki sesuatu, maka dia lebih berhak atas sesuatu tersebut dari orang selainnya. Dan, mengendarai kendaraan yang hidup atau yang benda mati hukumnya sama, maka pemilik onta atau kuda atau mobil lebih berhak berada di depan kendaraannya, dan didahulukan daripada yang lainnya. Maka, tidaklah seseorang mengendarai kendaraannya di bagian depan kecuali dengan izin pemiliknya.
Hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan hal tersebut, dan beliau berkata: Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan, datang seorang laki-laki berserta keledai, orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, naiklah.” Orang itu mundur ke belakang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak kamu yang lebih berhak di depan kendaraanmu dari pada aku, kecuali kamu jadikan hal itu untukku.” Orang itu berkata, “Aku telah menjadikannya untukmu,” maka beliau pun mengendarainya. {HR. at-Tirmidzi (2773) [dan dia berkata, “Hadits hasan gharib dari sisi ini,”] dan Abu Dawud (2573). Al-Albani berkata, “Hadits hasan shahih.”}
5. Bolehnya Membonceng Kendaraan Apabila Tidak Memberatkan Kendaraan Tersebut.
Di antara adab berkendaraan adalah tidak mengapa dua atau tiga orang berkendaraan pada satu kendaraan selama suatu kendaraan mampu untuk itu. Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membonceng sebagian sahabat beliau, seperti Mu’adz [al-Bukhari (2856) dan Muslim (30)], Usamah [al-Bukhari (1670) dan Musllim (1280)], al-Fadhl [al-Bukhari (1513) dan Muslim (1334)], demikian pula beliau membonceng Abdullah bin Ja’far dan al-Hasan atau al-Husain bersamaan [Muslim (2428) dan Ahmad (1744)], dan selain dari mereka radhiyallahu ‘anil jamii’.
Dalam perkara ini adanya dalil bahwa membebani kendaraan, yang kendaraan tersebut tidak mampu, termasuk perbuatan zhalim, bahkan dapat membawa kepada membinasakan kendaraan. Dan pada perkara tersebut adanya isyarat untuk mengetahui sesuatu dengan perasaan, yaitu bahwa membebankan alat kendaraan di atas kemampuannya dan bebannya yang telah ditetapkan dari pembuatnya dapat membahayakan kendaraan tersebut dan menyebabkan kerusakan.
6. Disunnahkan Orang Yang Berkendaraan Memberikan Salam Kepada Orang Yang Berjalan Kaki.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang kecil kepada yang besar”.[HR.Al-Bukhari 6232 dan Muslim 2160].
Pada riwayat Al-Bukhari:
“Hendaklah memberi salam yang kecil kepada yang besar dan yang berjalan kepada yang duduk dan yang sedikit kepada yang banyak”.[HR.Al-Bukhari no.6231]. []
Sumber: ghizan herlba’s