Oleh: Ustaz Felix Y Siauw
TAUHID mewajibkan wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakikatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya – Hadratussyaikh Hasyim Asyari.
Beginilah ulama kita memberi isyarat pada kita pentingnya adab dalam kehidupan, adanya adab sebelum ilmu, umpamanya tanpa adab, ilmu bagai api tanpa kayu.
Imam Adz-Dzahabi menulis, “Yang menghadiri majelis Imam Ahmad ada sekitar 5000 orang atau lebih. 500 orang menulis sedangkan sisanya hanya mengambil contoh keluhuran adab dan kepribadiannya” – Siyaru Alamin Nubala.
Demikian Abu Hanifah berkata, “Kisah-kisah para ulama dan duduk bersama mereka lebih aku sukai daripada menguasai beberapa bab fiqih. Karena dalam kisah mereka diajarkan berbagai adab dan akhlak luhur mereka”, tentang pentingnya adab dibandingkan ilmu.
Rusaknya kaum Yahudi bukan karena tak tahu, tapi sebab mereka berilmu tapi tak beradab, maka mereka dimurkai Allah. Maka siapa tak beradab, berbagi sifat Yahudi.
Nasihat Ibu Imam Malik saat pergi belajar, “Pergilah kepada Rabi’ah! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!”, sebab adab itulah yang membuat ilmu menjadi indah.
Tepatlah nasihat itu, sebab menjadikan yang tak beradab jadi guru, akan membuat diri kita berperilaku serupa, adab dan akhlak rusak, sementara ilmu belum tentu didapat.
Bukan miskin ilmu yang menjadikan orang tak beradab. Tapi lebih banyak tersebab kurang adab, lantas ilmu tak kunjung menghampiri. Adab sebelum ilmu.
Maka sedih sekali saat kita melihat, mereka yang mendaku pengemban dakwah, pengikut salaf, pecinta sunnah, tapi rendah dalam adab miskin dalam akhlak.
Apalagi adab dan akhlak buruk itu ditujukan pada ulama, maka berlapis-lapislah duka itu. Sungguh kita lebih perlu pada adab yang sedikit ketimbang ilmu yang banyak. []