MEMBERI nasihat itu mudah. Hampir semua orang mampu memberi nasehat yang sulit adalah mengamalkan nasehat bagi pemberi nasehat maupun yang dinasehati.
Pemberi nasihat harus menjaga dua perkara:
1. Keikhlasan ketika memberi nasehat. Tidak berharap ingin disanjung atau pujian lainnya. Terlebih di media sosial, keikhlasan amat dibutuhkan. Ketika yang me-like sedikit terasa sedih, tetapi ketika yang me-like banyak menjadi senang.
Dahulu Abdurrahman bin Mahdi pernah bertanya kepada gurunya, “aku punya majelis setiap Jum’at pagi. Apabila yang hadir banyak aku gembira dan apabila sedikit aku sedih?” Gurunya berkata, “itu majelis yang buruk, tinggalkan saja.” Semenjak itu Ibnu Mahdi tak pernah lagi mengajar di sana. (Siyar Adz-Dzahabi, 9/196).
2. Mengamalkan nasihat. Karena Allah membenci orang yang mengucapkan sesuatu yang ia tidak amalkan. Bahkan orangnya terancam diazab di dalam kuburnya. Na’udzu billah min dzalik.
Yang diberi nasihat pun harus menjaga dua perkara:
1. Menerima nasihat dengan hati yang lapang. Karena itu adalah tanda keikhlasan.
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Tanda orang ikhlas itu adalah apabila diingatkan kesalahannya ia tidak merasa panas hatinya tidak juga ngeyel. Justru ia mengakui kesalahannya dan mendo’akannya, “Semoga Allah merahmati orang yg mengingatkan kesalahanku.” (Siyar Adz-Dzahabi, 13/439).
2. Menjauhi sifat yang buruk. Ketika seseorang diberi nasehat yang dia pikirkan bukan dirinya, tapi malah bergumam, “Nasehat ini cocok buat si fulan dan si anu nih.” Padahal seharusnya yang hendaknya dia pikirkan adalah untuk dirinya terlebih dahulu.
Sumber: muslim.or.id