DALAM Islam, tidak heran ada adab setelah jima yang harus diketahui oleh pasangan suami istri.
Biasanya, pasangan suami-istri yang sah, setelah melakukan hubungan, tentunya akan merasa telah mendapatkan anugerah dari Allah SWT. Dalam Islam, tidak serta-merta jima selesai, maka selesai pula semuanya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan setelah jima. Ini di antaranya:
1. Adab Setelah Jima: Tidak langsung meninggalkan suami / isteri setelah hubungan (berdiam diri)
Setelah melakukan hubungan intim hendaknya tidak langsung meninggalkan pasangan, hendaknya tetap memberikan perhatian seperti mencium kening, memeluk atau tidur berbaring di samping pasangan sambil bercanda gurau sampai kondisinya kembali normal dan akan memulai aktivitas selanjutnya.
BACA JUGA: Jima Malam Hari, Haruskah Langsung Mandi Junub? Perhatikan 2 Hal Ini
2. Adab Setelah Jima: Mencuci kemaluan dan berwudhu jika ingin mengulang hubungan
Dari Abu Sa’id, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Jika salah seorang di antara kalian mendatangi istrinya, lalu ia ingin mengulangi senggamanya, maka hendaklah ia berwudhu.” (HR. Muslim no. 308)
3. Adab Setelah Jima: Bersyukur atau bertasbih
Tidak diragukan bahwa hubungan termasuk di antara nikmat yang harus disyukuri dan kita memuji Allah karenanya.
Hanya saja yang perlu diingat adalah, jangan sampai meyakini hamdalah atau ucapan syukur itu sebagai zikir/doa khusus setelah hubungan, karena pada dasarnya tidak ada doa/zikir di waktu itu.
BACA JUGA: 2 Waktu Utama untuk Jima Suami Istri
4. Adab Setelah Jima: Mandi besar / Mandi janabah setelah hubungan
“Dari Ubai bin Ka`ab bahwasanya ia berkata : “Wahai Rasul Allâh, apabila ia seorang laki-laki menyetubuhi isterinya, tetapi tidak mengeluarkan mani, apakah yang diwajibkan olehnya? Beliau bersabda, ”Hendaknya dia mencuci bagian-bagian yang berhubungan dengan kemaluan perempuan, berwudhu’ dan lalu shalat”. Abu `Abd Allâh berkata, “mandi adalah lebih berhati-hati dan merupakan peraturan hukum yang terakhir. Namun mengetahui tidak wajibnya mandi kamu uraikan juga untuk menerangkan adanya perselisihan pendapat antara orang `alim.” (HR. Bukhâriy dalam Kitab Shahihnya/Kitab Mandi, hadits ke-29).
Wallahu alam bi shawwab. []