TAHUKAH kamu bahwa ada salah satu doa bebas utang yang diajarkan oleh Rasulullah SAW? Seperti kita tahu, seorang muslim diperbolehkan memiliki berutang kepada orang lain. Namun yang harus dipahami adalah bahwa proses utang harus sesuai syariat Islam dan tidak boleh ada riba di dalamnya.
Penting juga untuk diketahui bahwa orang yang berutang harus bertanggungjawab dan menepati janji yang disepakati untuk mengembalikan utangnya.
Kisah tentang bagaimana keluar dari lilitan utang salah satunya pernah terjadi ketika Ali bin Abi Thalib menjabat sebagai khalifah.
Dikutip dari Republika, ada sebuah kisah seseorang yang memiliki banyak utang, yang kemudian mengadu kepada Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah saat itu. Dari kisah ini, kita sebagai umat Muslim juga dapat melakukannya sebagaimana jawaban yang disampaikan Ali kepada orang tersebut.
BACA JUGA: Hukum Jual Beli Utang dalam Islam
Adakah Doa Bebas Utang? Ini Penjelasannya
Kisah tersebut tentang permohonan doa kepada Allah ﷻ agar segala urusan dunia dimudahkan. Kisah ini terjadi saat Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah.
Dalam riwayat yang diriwayatkan dari Abu Wa’il, seorang pria mendatangi Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku tidak bisa membayar utangku. Tolong bantu aku.”
Kemudian Ali bin Thalib berkata, “Apakah kamu mau aku ajarkan tentang sesuatu yang pernah diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, yang jika kamu membacanya maka Allah ﷻ akan membuat utangmu lunas meski sebesar gunung?”
Si pria mengiyakannya. Lalu Ali bin Abi Thalib menyampaikan sebuah doa (doa bebas utang), sebagaimana berikut ini:
اَللّهُمَّ اكْفِنِىْ بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَاَغْنِنِيْ بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
‘Allahummakfinii bihalaalika ‘an haroomika wa aghninii bi fadhlika ‘amman siwaaka’
Artinya, “Ya Allah, cukupkanlah aku dengan apa yang Engkau halalkan dari apa yang Engkau karuniakan. Dan dengan karunia-Mu, jadikanlah aku tidak membutuhkan kecuali kepada Engkau.” (HR Tirmidzi dan terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal)
Nabi Muhammad ﷺ melarang umatnya berputus-asa dari rahmat Allah ﷻ dan tidak boleh menyerah serta harus meyakini bahwa semua yang terjadi itu baik. Selain itu, seorang Muslim juga harus yakin bahwa qadha dan qadar itu ada di tangan Allah ﷻ.
Selain mengetahui doa bebas utang, kita juga harus tahu tiga syarat penting utang dalam Islam, yang dikutip dari buku Majalah Pengusaha Muslim:
Berutang dengan Niat Baik dan Berusaha Melunasinya
Poin utang dalam Islam pertama adalah mempunyai niat baik ketika berutang. Niat ini penting karena akan menentukan bagaimana kedepannya. Ketika orang berniat baik, dia akan berusaha sekuat tenaga untuk melunasi utang. Namun jika dia berniat buruk, maka ketika ada keluangan pun, akan selalu dicari-cari alasan agar dia tidak membayar utang.
Selain itu, jika seseorang berutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zalim dan dosa. Bukan hanya kepada orang yang dipinjami utang, tetapi juga kepada Allah SWT.
Di antara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berutang untuk menutupi utang yang tidak terbayar
b). Berutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah utang agar mau memberi.
d). Berutang dengan niat tidak akan melunasinya.
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berutang ) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi di atas. Berapa banyak orang yang berutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya.
Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa utang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah membinasakan hidupnya dengan utang tersebut. Aturan utang dalam Islam tidak memudah-mudahkan juga tidak mempersulit. Namun mengingatkan pentingnya sebuah komitmen.
Adakah Doa Bebas Utang? Ini Penjelasannya
Utang Piutang Harus Ditulis dan Disaksikan
Poin kedua utang dalam Islam adalah pentingnya mencatat utang dan menghadirkan saksi ketika akad utang dilaksanakan. Hal ini bukan hanya menguntungkan satu pihak, tetapi semua pihak. Karena dengan menerapkan aturan utang dalam Islam ini, pihak orang yang berutang dan yang memberikan utang akan lebih tenang.
Sebagaimana telah Allah SWT jelaskan dalam firmanNya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utang nya.
Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.
Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)
Berkaitan dengan ayat utang dalam Islam ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi.
Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan,” (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).
Pemberi Utang Tidak Boleh Mengambil Keuntungan dari Orang yang Berutang
Poin ketiga utang dalam Islam yaitu orang yang memberikan utang, tidak boleh mengambil keuntungan dari orang yang berutang kepadanya.
Kaidah fikih berbunyi: “Setiap utang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama.
Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)
Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.
Adakah Doa Bebas Utang? Ini Penjelasannya
BACA JUGA: Kenali Riba Duyun, Manfaat Tambahan terhadap Utang
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata: “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam utang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan,
“Saya beri Anda utang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau Anda hadiahkan kepadaku sesuatu”.
Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).
Itulah pembahasan singkat soal utang dalam Islam. Semoga memberikan kita pemahaman lebih mendalam terkait perkaran ini sehingga tidak meremehkan hal-hal di atas yang hanya akan mempersulit diri sendiri. []