Oleh: Muhamad Abdul Kholik
m.a.kholik21@gmail.com
SEBUAH sajadah biru tergelar basah, seseorang masih tertunduk dengan suara isak tangis yang begitu dalam. Tak keras, tetapi terasa jika orang yang mengisakan tangis tersebut sedang jatuh terpuruk, bahkan sangat terpuruk. Johan, menyesali perbuatannya selama ini. Ia teringat akan masa kelam. Di saat ia masih merasa muda dulu.
Johan adalah anak pengusaha kaya, jangankan sewaktu kuliah, masih sekolah pun ia menjadi orang populer, tenar, tentunya disukai banyak wanita. Awalnya, sikap Johan biasa-biasa saja. Boleh dikata, jika pacaran pun pacaran sehat istilahnya. Namun semakin hari Johan semakin tersesat ke lubang kegelapan. Banyak bisikan teman berjiwa iblis merasukinya.
“Eh Jo, kalau pacaran emang lo ngapain aja?” tanya teman satu permainannya.
“Nggak ngapa-ngapainlah, emang harus ngapain?”
“Yaelah, lo kayak banci amat! Ya apa ajalah yang penting dapat banyak haha,” ledek temannya itu.
Merasa dihina, Johan yang sebelumnya mengaku pacaran sehat kini sebaliknya. Ia mencoba hal-hal semau nafsunya. Saat ini ia menjadi mahasiswa.
Karena tampang keren dan banyak uang, mudah bagi Johan untuk mendapatkan madona-madona kampus. Hidup Johan benar-benar merasa dunia seakan surganya. Segala wanita telah ia coba. Disebut Playboy pun malah tertawa. Tanda ia bahagia dengan gelar menjijikan bagi orang-orang paham agama.
Sampai waktu ketika Johan menyusuri jalanan depan kampus, seseorang memanggilnya.
“Johan!” teriak Mita, mantan pacar Johan.
“Iya Mit, ada perlu apa? Bukankah kita sudah putus,”
“Aku hamil!”
Pengakuan Mita membuat Johan terbelalak. Tubuhnya bergetar hebat. Ia mencoba bersikap tenang.
“Hamil? Maksudmu?” Johan berpura-pura memasang wajah bingung.
“Aku yakin, bayi dalam kandungan inni adalah anakmu!”
“Ssst! Tidak mungkin! Pasti pria lain yang melakukan ini!”
Johan berlari meninggalkan Mita. Mita menangis menjadi-jadi. Namun Johan tetap pergi begitu saja meninggalkan Mita. Tepatnya lari dari masalah.
“Akhirnya …”
Johan merasa tak perlu lagi datang ke kampus. Dengan segala kekayaan orang tuanya. Ia menginap di hotel berbulan-bulan untuk melupakan kejadian yang menimpa Mita. Sempat merasa kasihan sih, tapi Johan menuruti egonya untuk tidak bertanggung jawab.
Tiga tahun berlalu. Bayang-bayang Mita lenyap. Entah mengapa ia merasa rindu orang-orang di rumah. Johan pun berniat untuk pulang.
Sesampai di rumah.
“IBU!”
Johan panik melihat ibunya tergeletak pingsan. Tak lama sadar dan pingsan lagi, sadar dan pingsan kembali. Itulah yang dialami Ibu Johan. Johan sangat bingung kenapa ibunya bisa begini. Syukurlah di malam hari, Ibu Johan sadarkan diri.
“Apa yang terjadi ibu?” tanya Johan penasaran.
“Adikmu dihamili tentangga Nak,”
SREG!
Bagai disambar petir ditengah hari. Emosi Johanpun memuncak!
“Terus?” tangan Johan mengepal.
“Dia tak mengakui, malah menyalahkan pria lain yang menghamili adikmu. Dan semalam tetangga yang menghamili adikmu itu baru saja pindah entah kemana.”
JLEB!
Johan melongo. Ia merasa berada di posisi Mita saat itu. Betapa sakitnya Mita, sekarang ia rasakan. Takkuasa ia pun lari ke kamar. Mejedotkan kepalanya ke dinding. Meratapi besarnya kesalahan waktu itu hingga sekarang menimpa adiknya.
Permasalahan yang rumit itu perlahan dapat teratasi dengan bertahun-tahun menjalani hidup. Johan menikah dengan wanita bernama Cinta. Lima bulan berjalan, cinta menyatakan pernyataan mengejutkan.
“Mas, sebenarnya dulu aku adalah wanita malam. Bukan hanya sudah tak perawan, tetapi banyak lelaki yang sudah meniduriku,”
Johan teringat lagi bayang-bayang karma dari Mita. Jantungnya tersayat seakan ditarik paksa untuk terlepas. Sadar inilah balasan yang selama ini ia perbuat. Johan sedikit bisa dapat menerimanya.
Tujuh tahun pernikahan, ia memiliki anak perempuan cantik yang sekarang berusia enam tahun. Berharap anak kelak, tidak mengalami kejadian yang menimpa karena karma. Namun apalah bisa, takdir berkata lain, atau balasan yang ia dapat masih belum cukup. Anak perempuan Johanpun dikabarkan berada di rumah sakit, karena kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh penjaga rumahnya sendiri ketika Johan sedang lengah.
Di sanalah Johan benar-benar menjerit.
“Ya Allah cukup! Aku sudah tidak kuat dengan segala balasan kepadaku!”
Hari-hari Johan diisi dengan tangisan. Sampai ia melangkah disebuah pengajian, dimana Sang Kyai sedang menceritakan bab zina.
Dimana dalam kitab itu menceritakan bagaimana saat Imam Syafi’i ditanya mengapa begitu beratnya balasan bagi seorang pezina.
Maka Imam Syafi’i menjawab dengan wajah memerah delima, “Zina adalah bala’, akibatnya mengenai semesta lingkungan, tetangga, keturunan, hingga tikus di rumah dan semut dalam liangnya.”
Diterangkan pula jika hukuman untuk pezina ialah cambuk bagi yang belum menikah, dan rajam hingga mati bagi yang sudah. Juga Allah berfirman agar hukuman pelaksanaan mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman.
Dikisahkan pula, ada yang bertanya lagi kepada Imam Asy-Syafi’i.
“Bukankah untuk pelaksanaan hukuman pada para pembunuh, si murtad, dan pencuri Allah tak pernah mensyaratkan menjadikannya tontonan?”
Janggut Imam Asy-Syafi’i pun basah, bahunya terguncang-guncang.
“Agar menjadi pelajaran …” Sang Imam pun terisak dan berkata lagi,
“Agar menjadi pelajaran …” Sang Imam tersedu dan berkata lagi,
“Agar menjadi pelajaran …” Sang Imam kembali terisak, lalu ia beranjak dari duduknya dengan mata yang menyala.
“Karena ketahuilah oleh kalian! Sesungguhnya zina adalah hutang! Hutang sungguhlah hutang, dan salah seorang nasab pelakunya pasti harus membayar!”
Lunglai mendengar pencerahan dari Sang Kyai yang menyampaikan babnya. Johan mendadak tak sadarkan diri. Beberapa jamaah membawa Johan ke rumahnya. Istrinya pun panik. Setelah tiga jam akhirya Johan siuman. Dan terus menangis di Sajadah biru itu.
***
Johan bangkit menyobek kertas dan menuliskan suatu kalimat penting yang ia petik dari pengajian tadi.
“Jika mata sudah memandang, maka hati akan merasa, jiwa akan berhasrat tubuh akan melakukan. Maka tundukkan pandangan, maka engkau akan selamat dari hal-hal yang mendekatkan zina. Zina mata adalah melihat, zina hati adalah hasrat dan berkeinginan, zina badan adalah melakukan. Dan ingatlah pengalamanku! Barang siapa berzina, maka akan ada yang dizinai, meskipun dalam rumahnya. Camkanlah jika engakau tak ingin sepertiku!”
Tangan Johan tiba-tiba tak bertenaga. Ia pun menghembuskan nafas terakhir.
“Innalillahi wainnailaihi rajiuun …” []
Bogor, 18 Juli 2016.
Tentang Penulis
Muhamad Abdul Kholik, penulis asal Kota Hujan Bogor. Lahir pada tanggal 21 September 1996.
Hobi menulis dan membaca. Bercita-cita sebagai penulis yang karyanya bermanfaat