Oleh: Diarisma Wibowo
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa
AKU akan menceritakan kisah tentang perjalanan hidup seseorang. Cerita kepedihan yang begitu teramat menyakitkan. Kisah yang membuat orang bertanya-tanya, apakah Tuhan itu memang benar-benar ada, hingga tega menempatkan seorang pemuda yang masih begitu polos dan lugu, berada pada sekat-sekat keputus asaan yang begitu menyudutkan. Apakah Allah itu memiliki segala rasa dari cinta, hingga mampu merebut semua tawa yang selama ini telah dikumpulkanya satu-satu dan meninggalkan tangis yang begitu pilu.
Semua hanya berawal dari sebuah keinginan. Nafsu kebodohan yang menjatuhkan dirinya ke dalam kesalahan yang teramat fatal. Kesempatan yang berulang-ulang kali Allah berikan menjadi hambar, busuk dan berakhir.
“Tuhan itu kejam, bahkan teramat kejam. Allah itu hanya halusinasi. Aku masih berdiri, sebab anakku menunggu di sana. Takkan kubiarkan mati memanggilku. Takkan kubiarkan luka mengalahkanku. Sampai darah tertelan habis oleh matahari dan ragaku hancur dimakan waktu. Aku, akan tetap berjalan.”
Rian namanya. Dia adalah salah satu sahabatku. Sebelum kisah itu terjadi, Rian adalah anak yang selalu suka membuat orang tertawa, mudah bergaul dan memiliki rasa humor yang tinggi. Dulu, orang-orang selalu memberikan rasa sayang dari sosok anak yang telah ditinggal mati ayahnya itu. Anak yatim yang memiliki ibu paruh baya, penjual makanan di desa tempat kami tinggal.
Dulu, orang-orang akan selalu berimpati bila berpapasan dengan Rian. Tak jarang dari mereka selalu ingin memberikan sesuatu kepada Rian. Rasa belaskasih itu tumbuh dengan sendirinya. Mengingat, bahwa Rian hanyalah seorang anak dari perempuan janda yang pekerjaannya hanyalah seorang penjual pecel dan gorengan. Rian sangat disayang oleh ibunya, semua mimpi dan harapan telah disandarkan sepenuhnya kepada anak semata wayangnya itu. Harapan yang teramat besar, bahwa kelak Rian akan menjadikan dirinya sebagai ibu yang sangat bangga memiliki anak seperti Rian.
Namun, Allah memberikan sesuatu hal yang lain dari apa yang diharapkan oleh hati seorang ibu. Suatu ketika, Rian mengalami kecelakan. Tangan dan kakinya harus diamputasi. Tidak hanya itu, indra pengelihatan Rian juga harus ia relakan untuk padam. Semua seperti cerita-cerita dongeng. Mimpi indah yang ditopang tinggi-tinggi, harus runtuh dengan beribu tanda tanya. Laksana petir yang mencabik-cabik tubuh tanpa sisa. Kenyataan itu, adalah takdir, atas kehendak-Nya.
Malam ini aku menemui Rian. Setelah empat tahun lamanya kami berpisah, akhirnya waktu masih mempertemukan kami untuk sesaat. Aku duduk dekat disampingnya, mendengar apa yang dia katakan dan mencari tahu kebenaran nyata dari semua. Rian mulai berkata dengan suara yang pelan.
“Dulu, aku menikmati semua dengan indah. Mencari dan terus berusaha, tanpa tahu bahwa itu adalah jalan yang salah. Semua dimulai ketika aku berkenalan dengan seorang gadis di sekolah tempat aku menimba ilmu. Kau jelas tahu, bahwa umurku dulu masihlah sangat mudah. Tapi akal dan pikiranku terasa memiliki nyawa dan tujuannya sendiri. Aku kalah dan tidak mampu menahan semua gejolak dari dalam jiwaku. Hidupku selalu dipenuhi dengan gaya anak-anak perkotaan. Mencari kesenangan dengan bebas, memalui cara yang selalu aku halalkan. Agama, aturan dan takut tidak lagi aku rasakan. Semua terjadi begitu saja.
Aku mulai mencari perempuan-perempuan cantik yang ada di sana, melakukan hal yang seharusnya diharamkan, lalu lupa bahwa itu adalah hina. Bekali-kali aku membuat mereka hamil dan berkali-kali juga aku menyuruh mereka mengugurkan kandungan itu. Sampai pada suatu hari, kehamilan dari salah satu pacarku sudah tidak dapat lagi kami sembunyikan. Dia sudah hamil besar dan calon dari jabang bayi itu sudah tidak bisa lagi untuk kami aborsi.
Saat itu aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku takut, bahkan teramat takut. Aku belum merasa siap untuk menjadi seorang ayah. Hingga pada akhirnya aku menempuh jalan yang memulai segalanya. Aku lari dari kenyataan. Aku memilih menjauh dan pergi meninggalkan dia, berpindah dari satu kota ke kota yang lainnya, hanya untuk bersembunyi dari semua itu.
Berbagai cara aku lakukan untuk bertahan hidup, aku mencuri, mengemis dan memakan apapun yang ingin aku makan. Lalu aku bertemu dengan seorang perempuan. Dia cantik dan anak dari seorang pengusaha yang cukup sukses. Aku berpikir, jika aku mampu mendapatkanya pastilah hidupku akan terang dan mapan.
Hingga pada akhirnya takdir berpihak padaku, saat itu umurku baru 18 tahun. Lalu aku menikah dengan anak pengusaha itu. Namun restu yang aku dapat bukanlah restu yang tulus, aku mampu menikahinya sebab aku telah berhasil menghamilinya. Mereka tidak punya pilihan lain lagi selain menikahkan kami. Aku bangga dan sangat senang.
Tapi, ada hal yang akhirnya membuatku terkejut dan menjadikan pemikiran bahwa semua itu tidaklah nyata. Suatu ketika anakku lahir dan harus masuk ruang ICU. Dokter bilang, ada beberapa bagian sel tubuh anakku yang tak bisa digunakan dan harus segera dioperasi. Saat itu aku merasa sangat sedih. Anak kecil sesuci itu, harus mengalami hal yang sangat menyakitkan. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. []
BERSAMBUNG
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.Â