Oleh: Nurmalahayati
(Owner Mayla’s handmade, Banda Aceh)
DULU waktu tsunami menerjang kota saya, saya mendengar adzan di mesjid terdekat. Waktu itu saya bingung, kenapa ada adzan di waktu dhuha? Belakangan saya tahu itu terjadi sesaat setelah tsunami. Alhamdulillah tempat saya tidak sampai tsunaminya, sekitar 600 m dari rumah ada sungai, jadi semua sisa air laut masuk ke sungai tsb. Kalo tidak ada sungai, entah apa yang terjadi.
Lalu setelahnya saya mulai mendengar banyak cerita luar biasa tentang adzan. Di suatu persimpangan, yang dari kejauhan terlihat dinding air laut. Penduduk sekitar mengumandangkan adzan dan masyaallah… air laut nya berbelok, persimpangan tadi akhirnya tergenang air bukan hempasan langsung dari dinding tsunami.
BACA JUGA: Awal Mula Azan Dikumandangkan
Ada juga cerita penduduk yang tinggal dipesisir, tsunaminya berbelok sehingga punya waktu lebih lama untuk menyelamatkan diri. Hari-hari itu, mendengarkan kisah-kisah yang tak masuk akal adalah hal yang biasa. Air laut yang naik ke darat yang meliuk-liuk seperti ular. Bahkan disuatu persimpangan lain banyak rumah yang utuh. Aneh? Iya.. karena disimpang itu pertemuan dua gelombang dari 2 laut berbeda: lhoknga dan uleelheu.
Disuatu dini hari di bulan maret 2005, ketika gempa besar melanda nias, saya dan keluarga saya berhamburan ke jalan. Gempa yang terasa tidak sekencang desember 2004, tapi cukup lama. Jalanan mendadak sepi, padahal itu jalan antar propinsi. Di kejauhan adzan berkumandang. Waktu itu kami cuman bisa berdzikir, adzan bikin saya yang tadi panik ketakutan jadi tenang… Alhamdulillah.
Tak berapa lama, ada tornado di tengah laut. Reaksi orang di daratan? Ya adzan. Waktu itu adzan jadi senjatanya orang Aceh. Gempa? Adzan saja. Tsunami? Adzan. Banjir? Angin ribut? Kebakaran? Adzan saja! Titik!
Sore hari medio april 2011, gempa kembar melanda kota saya lagi. Saya waktu itu sedang dikantor. Hampir waktu sholat ashar. Kami semua menyelamatkan diri ke jalanan depan kantor. Gempanya bermenit-menit. Teman saya mulai menangis, dia punya trauma mendalam karna dulu sempat tergulung ombak tsunami. Saya istighfar sambil menangis ingat ibu saya di rumah… takut ibu saya kenapa-kenapa. Saya sampai teriakin teman kantor saya yang laki-laki untuk adzan. Setelah gempa reda, kita semua pulang. Dan itu bukan pekerjaan mudah. Saya nebeng motor teman saya, kota Banda aceh hampir kosong karna ditinggal warganya ngungsi ke tempat yang aman krn takut tsunami melanda. Listrik padam. Akses informasi minim. Semua jalan berlaku satu arah. Saya dan teman sampai nyari jalan tikus krn semua jalan macet. Waktu itu saya cuman mikir saya gak mau ngungsi. Lari mengungsi itu sungguh capek. Saya juga takut kalo lari trus ibu saya terlepas dari saya.
Waktu tsunami dulu, banyak yang selamat yang akhirnya merasa bersalah karna terlupa menyelamatkan anggota keluarga yang lain. Ada yang setelah gempa pergi ke pantai melihat fenomena air laut yang surut 3 km, melihat dan mengumpulkan ikan yang menggelepar didasar laut. Ketika dinding tsunami muncul mereka menyelamatkan diri memacu motornya ke arah jantho. Lalu baru ingat ibunya yang masih di rumah… ketika berbalik ke arah rumah, jalanan sudah penuh puing dan rumah sudah tak ada. Apa gak menyesal? Saya gak mau seperti itu. Jadinya ketika gempa kembar itu, saya gak mau ngungsi. Ntar kalo ada apa-apa ke tingkat dua saja. Duduk sambil zikir sambil ngaji atau apa. Memikirkan lari dan mengungsi sudah bikin saya lemas duluan.
Disuatu dini hari beberapa tahun lalu, suara adzan berkumandang lagi. Saya yang belum tidur langsung melihat keluar. Ternyata ada kebakaran dibelakang rumah tetangga saya. Alhamdulillah berhasil dipadamkan.
BACA JUGA: Kisah Gempa Sulteng: Diselamatkan Adzan Maghrib
Sampai sekarang kalo ada musibah, saya teriakin orang untuk mengumandangkan adzan. Adzan itu penenang jiwa, pereda kepanikan.. karna mendengar adzan membuat kita ingat Allah Ta’ala Sang Pemilik Alam Semesta. Ingat betapa kecil kita di hadapanNya.
Musibah di Palu membuka memori 14 tahun yang lalu. Semoga para korban husnul khatimah. Dan semoga kita yang selamat mengambil hikmah. Bahwa sesungguhnya kita ini calon jenazah.
“Orang yang paling banyak mengingat mati dan paling banyak baik persiapannya menghadapi kehidupan setelah mati. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah) []