Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyiapkan rezekinya bagi setiap hambaNya. Ya, semua orang telah ditentukan kadar rezeki yang akan diperolehnya.
Namun, meski begitu, rezeki itu tetaplah harus dicari. Dengan berusaha dan bertawakal kepada Allah, maka rezeki akan didapatkan.
Tentunya berusaha untuk memperoleh rezeki itu sudah mampu dilakukan banyak orang. Tapi, mereka yang mengais rezeki dengan tetap mengikuti adab-adab Islam bisa dibilang semakin jarang- menghalalkan segala cara.
Padahal, dengan memakai adab-adab dalam mencari rezeki, maka rezeki itu akan lebih berkah. Lantas, apa sajakah adab-adab itu?
Pertama, tujuan kita bekerja adalah untuk menopang ibadah kita
Allah Ta’ala tidaklah menciptakan kita kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Allah beriman, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Dan tidaklah Allah menciptakan alam semesta dan seiisinya kecuali supaya menjadi pendukung kita beribadah untuk mencari kebahagiaan di akhirat. Allah berfirman, “Dan carilah negeri akhirat di dalam apa-apa yang Allah berikan kepadamu, dan janganlah engkau lupakan bagianmu di dunia.”
Oleh karena itu, hendaklah kita camkan bahwa niat kita berusaha dan bekerja adalah untuk mendukung ibadah kita kepada Allah. Kita bekerja untuk mendapatkan uang, untuk menutupi aurat kita, bisa kuat beribadah shalat, haji, shadaqah, untuk silaturrahmi ke rumah saudara, membiayai anak yatim, menjaga diri dari meminta-minta dan lain sebagainya.
Kedua, mencari rezeki yang halal
Rezeki yang haram merupakan sebab seseorang terjerumus ke dalam neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, “Setiap jasad yang tumbuh dari yang haram maka neraka lebih pantas untuknya,” (HR. Ath-Thabrani, dan dishahihkan Al-Albani dalam Shahihul Jami 4519).
Ketiga, tidak bertawakkal kepada sebab tersebut
Mengambil sebab adalah disyari’atkan, akan tetapi bertawakkal dan berserah diri kepada sebab dan menganggap bahwa sebab tersebut yang dengan sendirinya memberi manfaat maka ini adalah kesyirikan. Yang seharusnya adalah mengambil sebab dan tetap bertawakkal kepada Allah yang telah menciptakan sebab tersebut. Kalau Allah menghendaki maka kita akan diberi rezeki dengan sebab tersebut, dan kalau Allah menghendaki maka kita tidak diberi rezeki dengan sebab tersebut.
Dalam dzikir setelah shalat disebutkan, “Ya Allah tidak ada yang memberi apa yang Engkau tahan, dan tidak ada yang menahan apa yang Engkau beri,” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Al-Mughirah bin Syu’bah).
Keempat, merasa cukup dengan pemberian Allah (Qanaah)
ﷺ bersabda, “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya perhiasan dunia, akan tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan jiwa (merasa cukup dan kaya dengan pemberian Allah),” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Kelima, berdoa
Hal inilah yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ. Sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya Nabi ﷺ setiap selesai salam dari shalat subuh beliau mengatakan, “Ya Allah aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, dan rezeki yang baik, dan amal shaleh yang diterima,” (HR. Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani).
Keenam, jangan sampai kesibukkan kita dalam mencari rezeki melalaikan kita dari menuntut ilmu, beribadah, dan berdakwah
Mencari rezeki dan menuntut ilmu bukanlah 2 hal yang bertentangan bagi siapa yang diberi taufik oleh Allah dan memiliki kesungguhan. Dari Umar bin Khaththab beliau berkata, “Dulu aku dan tetanggaku dari kaum Anshar tinggal di qabilah Umayyah bin Zaid di Awali Al-Madinah, kami bergantian pergi ke tempat Rasulullah ﷺ, hari ini aku yang pergi, kemudian besok dia yang pergi. Kalau aku yang pergi maka aku akan kembali kepadanya dengan membawa kabar hari itu baik wahyu maupun yang lain, dan kalau dia yang pergi maka juga melakukan yang demikian,” (HR. Al-Bukhari).
Namun ini semua tidak bisa dilakukan kecuali seseorang memiliki qanaah, kalau tidak maka akan terbengkalai ilmu, ibadah, dan dakwahnya. Wallahu a’lam. []
Sumber: Konsultasi Syariah.