SUATU ketika Imam Abu Hanifah duduk di sisi imam Al-A’masy. Lalu ada yang bertanya kepada beliau (Abu Hanifah) tentang suatu masalah. “Apa pendapat anda dalam masalah demikian dan demikian…?”, tanya seorang.
Lalu beliau menjawab : “Aku berpendapat demikian dan demikian.”
BACA JUGA: Logika Jual Beli Imam Abu Hanifah vs Kita
Al-A’masy : “Dari mana (maksudnya : apa dalilnya) pendapat itu wahai imam ?”
Abu Hanifah : “Lha kamu sendiri yang telah mengakabarkan haditsnya kepadaku dari si fulan…dari si fulan…dari Rasulullah saw bersabda demikian….”dst.
Lalu beliau menyebutkan beberapa hadits lengkap dengan sanad (mata rantai periwayat) dan matannya (isi haditsnya) untuk dalil pendapat yang beliau sampaikan. Dimana semua hadits tersebut dari riwayat Al-A’masy.
Al-A’masy : “Cukup wahai imam ! Hadits yang aku ceritakan kepada anda dalam seratus hari, anda sampaikan kepadaku hanya dalam sesaat. Sebelumnya aku tidak tahu kalau anda mengamalkan hadits-hadits tersebut.” Lalu beliau melanjutkan :
يا معشر الفقهاء أنتم الأطباء و نحن الصيادلة
“Wahai para fuqaha (ahli fiqh) ! Kalian adalah para dokter, sedangkan kami (ahli hadits) adalah apoteker.”
[Manaqib Imam Abu Hanifah karya imam Ali Al-Qari : 2/484]
BACA JUGA: Ditanya Soal Allah, Abu Hanifah Jawab Pakai Akal
Pelajaran :
1. Para imam madzab membangun pendapatnya di atas dalil, bukan hanya dari pikiran mereka sebagaimana yang dituduhkan oleh segelintir orang. Bahkan satu masalah saja, dalilnya bisa puluhan. Kalau sudah begini, apa kita masih mau bilang mereka tidak pakai dalil ??!
2. Dalil itu barang mentah, hanya akan berguna di sisi ahlinya, yaitu para fuqaha. Karena mereka adalah orang-orang yang punya otoritas dan kemampuan dalam hal itu. Ibarat obat, tidak akan berguna tanpa resep dan arahan dokter. Bisa anda bayangkan kalau orang awam meresepkan suatu obat kepada orang sakit, kira-kira apa yang akan terjadi ? Sembuh tidak, celaka mungkin. Bahkan paling fatalnya bisa meninggal. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani