IBNU Ishaq menceritakan: Ashim bin Umar bin Qatadah bercerita kepadaku yang bersumber dari beberapa orang kaumnya yang berkata, “Sesungguhnya faktor yang membuat kami tertarik memeluk Islam, selain rahmat dan petunjuk Allah, adalah karena kami mendengar beberapa perkataan orang-orang Yahudi. Kami adalah kaum musyrikin dan penyembah berhala, sedangkan mereka adalah Ahli Kitab. Mereka memiliki ilmu yang tidak kami miliki. Konflik terus terjadi antara kami dengan mereka.
Jika kami mendapatkan dari mereka apa yang tidak disukai, mereka berkata kepada kami, “Sesungguhnya kini telah dekat kemunculan seorang Nabi dan bersama dengan Nabi itu kami akan membunuh kalian seperti pembunuhan terhadap Ad dan Iram.”
Sangat sering kami mendengar ucapan tersebut dari mereka. Makanya. ketika Allah mengutus Rasul-Nya, kami langsung merespon positif seruannya saat ia menyeru kepada agama Allah. Kami paham ancaman yang dilontarkan orang-orang Yahudi kepada kami, sehingga kami segera menghadap Nabi, lalu beriman kepada beliau sedangkan mereka tetap kafir. Mengenai kami dan mereka Allah ‘Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya di surat Al-Baqarah:
BACA JUGA: Perjanjian Allah dengan Semua Nabi
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ ۚ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (QS. al-Baqarah: 89).
Ibnu Hisyam berkata: yastaftihuuna artinya yastanshiruuna (meminta pertolongan) atau yatahakamuuna (meminta kepastian hukum). Sebagaimana disebutkan dalam Kitabullah (yang artinya):
“Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik- baiknya” (QS. al-A’raaf: 89).
Ibnu Ishaq melanjutkan:
Shalih bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf bercerita kepadaku dari Mahmud bin Labid, saudara Bani Abdu Al-Asyhal dari Salamah bin Salamah bin Waqqasy Salamah salah seorang yang terlibat pada Perang Badar, “Kami memiliki tetangga seorang Yahudi di Bani Abdu Al-Asyhal. Suatu ketika ia keluar dari rumahnya menemui kami kemudian berdiri di hadapan Bani Abdu Al- Asyhal. Ketika itu akulah anak yang paling muda di antara yang hadir. Aku mengenakan jubah kecil dan tidur-tiduran di halaman keluargaku. Orang Yahudi itu berkhutbah tentang hari kiamat, hari kebangkitan, hari perhitungan amal, neraca, surga dan neraka. Ia menceritakan itu semua kepada orang-orang musyrikin penyembah patung-patung yang tidak mempercayai adanya kebangkitan kembali setelah kematian.
Orang-orang musyrikin berkata, “Dasar sialan kau, apakah engkau mengira bahwa setelah kematiannya manusia mereka akan dibangkitkan di sebuah negeri yang di dalamnya terdapat surga dan neraka, kemudian mereka diberi balasan setimpal dengan amal perbuatan mereka?”
Orang Yahudi tersebut berkata, “Ya, demi Dzat yang dengannya aku bersumpah. Seseorang saat itu akan berharap andaikata sebagai ganti neraka tersebut ia mempunyai tungku yang paling besar di dunia ini. Lalu tungku tersebut dijaga, kemudian ia dimasukkan ke dalamnya dan dilumur dengannya itu jauh lebih dan lebih ia sukai asalkan ia selamat dari api neraka.”
Mereka berkata kepada orang Yahudi itu, “Sialan sekali kau Fulan, lalu apa tanda-tandanya?”
Yahudi itu menjawab, “Nabi yang diutus dari negeri-negeri ini, sambil menunjuk dengan tangannya ke arah Mekkah dan Yaman.”
Mereka bertanya, “Kapan itu terjadi?”
Orang tersebut menoleh ke arahku dan ketika itu aku adalah anak yang paling muda yang hadir pada pertemuan tersebut, kemudian ia berkata, “Jika umur anak muda ini panjang, niscaya ia berjumpa dengan Nabi tersebut.”
Salamah berkata, “Demi Allah, malam dan siang terus bergulir, sampai Allah Ta’ala mengutus Muhammad Shallalahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasul-Nya, sedangkan Yahudi itu hidup di tengah kami, kemudian kami beriman kepada beliau, sedangkan orang Yahudi tersebut malah ingkar kepadanya karena dengki dan hasud yang ada dalam dadanya.
Kami berkata kepada orang Yahudi tersebut, “Sialan sekali kau fulan, bukankah engkau yang berkata demikian dan demikian kepada kami?”
Ia berkata, “Ya, benar, namun Nabi itu bukanlah yang kami maksudkan.”
Ibnu Ishaq melanjutkan:
Ashim bin Umar bin Qatadah berkata kepadaku dari tetua Bani Quraizhah yang bertanya kepadaku, “Apakah engkau tahu tentang keislaman Tsalabah bin Sa’yah, Usaid bin Sa’yah, dan Asad bin Ubaid?”
Mereka adalah orang-orang Bani Quraizhah sahabat-sahabat mereka di zaman jahiliyah kemudian mereka menjadi pempinan di zaman Islam.
Aku berkata, “Tidak, demi Allah.”
Orang-orang dari Bani Hadl berkata, “Sesungguhnya seorang Yahudi dari Syam yang bernama Ibnu Al-Hayyaban datang menemui kami dua tahun sebelum Islam datang. Dia tinggal bersama dengan kami. Demi Allah, kami belum pernah melihat orang mengerjakan shalat lima waktu yang lebih baik daripadanya. Ia tinggal bersama-sama kami. Jika kami ditimpa kekeringan dan hujan tidak turun, kami berkata kepada Ibnu Al-Hayyaban: “Keluarlah, wahai Ibnu Al-Hayyaban dan mohonkanlah air hujan untuk kami.”
Ia berkata, “Tidak, demi Allah, aku tidak akan melakukan itu hingga kalian mengeluarkan sedekah di tempat kalian keluar.”
Kami bertanya kepadanya, “Berapa jumlahnya?”
Ia menjawab, “Satu sha’ kurma, atau dua mud gandum.”
Kami segera bersedekah, kemudian Ibnu Al-Hayyaban menyertai kami keluar kampung lalu ia berdoa kepada Allah agar hujan turun untuk kami. Demi Allah, belum lama ia beranjak dari duduknya, mendung telah berarak kemudian menurunkan hujan untuk kami. Ia lakukan ini bukan hanya sekali, dua atau tiga kali.
BACA JUGA: Dzil Jausyan, Berjanji Masuk Islam Jika Nabi Berhasil Taklukkan Kota Makkah
Ashim bin Umar bin Qatadah melanjutkan:
Saat Ibnu Al-Hayyaban menjelang kematiannya dan dia berada di tengah kami, dan dia tahu bahwa kematiannya telah semakin dekat ia berkata, “Wahai orang-orang Yahudi, apa pendapat kalian yang membuat aku keluar dari negeri minuman keras dan roti ke sebuah negeri yang penuh derita dan kelaparan?”
Mereka berkata, “Engkau jauh lebih tahu tentang hal itu daripada kami.”
Ibnu Al-Hayyaban berkata, “Sesungguhnya aku datang ke negeri ini dengan tujuan menanti diutusnya seorang Nabi yang sudah dekat kedatangannya. Negeri ini adalah tempat hijrah Nabi tersebut. Aku berharap kiranya ia telah diutus kemudian aku mengikutinya, karena masa kemunculannya telah semakin dekat. Oleh sebab itulah, kalian bersegeralah jangan sampai ada orang yang mendahului kalian wahai orang-orang Yahudi, karena ia diutus dengan menumpahkan darah dan menawan anak-anak dan wanita-wanita siapa saja yang menentangnya. Janganlah kalian menjauh darinya.”
Ketika Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wasallam mengepung Bani Quraizhah, anak-anak muda yang dulunya masih anak-anak tersebut, berkata, “Wahai Bani Quraizhah, demi Allah, inilah Nabi yang diceritakan Ibnu Al-Hayyaban kepada kalian.”
Sebagian dari mereka berkata, “Tidak! Bukan dia!”
Sebagian dari mereka berkata lagi, “Demi Allah, dialah nabi itu dengan semua ciri-ciri yang dimilikinya.”
Mereka pun lalu masuk Islam lalu darah, harta, dan keluarga mereka terlindungi. []
Referensi: Sirah Nabawiyah perjalanan lengkap Kehidupan Rasulullah/ Asy Syaikh Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albani/ Akbar Media