KELOMPOK Ahlus Sunnah dalam aqidah khususnya berkaitan dengan sifat-sifat Allah menghadapi dua penyimpangan besar yang saling berlawanan.
Pertama, mu’athilah (kelompok yang menta’thil, menafikan sifat-sifat Allah). Mungkin mereka bermaksud ingin mensucikan Allah dari kesamaan dengan makhluk, tetapi berujung pada pengabaian dan penolakan terhadap nash-nash yang qath’i yang menyebutkan sifat-sifat Allah.
Kedua, musyabbihah (kelompok yang menyerupakan Allah dengan makhluk). Mungkin maksudnya ingin menetapkan setiap apa yang ada dalam nash, tetapi terjerumus pada kesalahan pemahaman, sifat-sifat tersebut digambarkan tidak ada bedanya dengan makhluk, menyematkan kepada Allah apa yang khusus bagi makhluk, yaitu sifat kebaruan (hawadits).
Ta’alallahu ‘amma yaquluna ‘uluwwan kabira. Allah Maha Tinggi dari apa yang mereka katakan.
Kelompok Ahlus Sunnah berada di antara dua garis penyimpangan ini, jika tidak berhati-hati bisa saja terjerumus kepada salah satunya.
Ada diantara kelompok Ahlus Sunnah yang fokus kekhawatirannya lebih tertuju kepada kaum mu’athilah, sangat berhati-hati dari terjerumus kepada ta’thil/mengabaikan nash, sehingga mereka memilih metode bersungguh-sungguh dalam menetapkan apa yang ada dalam nash (itsbat).
Sehingga mereka “nyaris” menolak ta’wil, karena bisa mengakibatkan terjerumus pada ta’thil. Mereka menetapkan sifat Allah sebagaimana zahirnya dalam nash. Jika dipahami kekhususannya bagi Allah, mereka tetapkan makna itu.
BACA JUGA:Â Beda Imam Mahdi Versi Ahlus Sunnah dengan Syiah
Ahlus Sunnah di Antara Penyimpangan
Jika tidak dipahami, maka di-tafwid, diserahkan maknanya kepada Allah. Ini adalah kelompok Hanabilah, atau sering disebut Atsariyyah. Termasuk di antara ulamanya Ibnu Taimiyyah, meskipun beliau bukan satu-satunya, terlepas dari ada pilihan-pilihan ijtihadnya sendiri yang berbeda dari para ulama Hanabilah yang lainnya.
Yang kemudian corak beliau diikuti oleh kelompok yang saat ini sering disebut Wahabi atau Salafi. Jadi secara asal sebenarnya mereka dalam lingkup madzhab Hanbali.
Kelompok ini masih dalam koridor Ahlus Sunnah karena selain melakukan itsbat (menetapkan setiap apa yang ada dalam nash), mereka juga masih menolak tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Namun kelompok ini menghadapi bahaya besar, yaitu jika tidak berhati-hati bisa terjerumus kepada kelompok musyabbihah.
Berikutnya ada kelompok Ahlus Sunnah yang fokus kekhawatirannya lebih tertuju kepada kaum musyabbihah. Mereka sangat khawatir dari terjerumus kepada menyerupakan Allah dengan makhluk, maka metode yang mereka gunakan adalah bersungguh-sungguh dalam melakukan tanzih (mensucikan Allah dari kesamaan dengan makhluk).
Nash-nash yang secara zahirnya berpotensi menimbulkan anggapan kesamaan dengan makhluk, mereka atasi dengan metode ta’wil. Atau paling tidak, mentafwid, menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah. Ini adalah kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
Kelompok ini masih dalam koridor Ahlus Sunnah, karena selain mereka melakukan tanzih (mensucikan Allah dari kesamaan dengan makhluk), mereka juga masih melakukan itsbat, menetapkan setiap yang ada dalam nash. Namun mereka menghadapi bahaya besar jika tidak berhati-hati, dengan metode ta’wil yang digunakan bisa terjerumus kepada kelompok mu’athilah.
Jika kita mampu memahami batasan ini, maka insya Allah kita akan mudah memahami bahwa ketiga madzhab aqidah tersebut masih ada dalam koridor Ahlus Sunnah. Karena mereka sepakat secara ushul, yaitu melakukan itsbat dan tanzih atau menolak tasybih.
Sedangkan tentang ta’wil masih masuk kategori khilafiyyah. Karena faktanya, kelompok Hanabilah pun tidak sepenuhnya menolak ta’wil, ada ta’wil-ta’wil yang diterima, meskipun sebagian mereka tidak menamakannya sebagai ta’wil. Karena ta’wil tidak serta merta berarti ta’thil. Setelah nash itu ditetapkan, bagaimanakah memahami dan menyikapinya? Apakah dengan mengitsbat makna zahirnya, ataukah di-tafwid, ataukah dita’wil? Di sanalah letak perbedaannya.
Ahlus Sunnah di Antara Penyimpangan
BACA JUGA:Â 2 Wasiat Terakhir dari Dua Imam Ahlus Sunnah
Perbedaan dari kelompok Ahlus Sunnah ini sebenarnya sederhana. Tetapi, bisa jadi karena kurang memahami pendapat yang berbeda dan dalil-dalilnya sehingga terjadi kesalahpahaman, kurang bisa berlapang dada dengan perbedaan pendapat, diprovokasi oleh pihak-pihak tertentu, sehingga tertanam kebencian yang mendarah-daging, maka tampaklah dari waktu ke waktu perpecahan, permusuhan bahkan pertumpahan darah. Wal ‘iyadzu billah.
Sebagai sesama muslim, harusnya saling mengayomi, mengedepankan husnuzhan bukan su’udzan. Bersungguh-sungguh untuk menjaga saudaranya agar tetap berada dalam kebenaran. Jika ada kesalahan ucap, maka kedepankanlah untuk memberi udzur, dan arahkan bahwa ia tidak bermaksud melakukan penyimpangan.
Bukan malah bersemangat untuk melontarkan tuduhan. Bahkan maksudnya malah ditarik-tarik dan dipaksakan agar terjerumus kepada penyimpangan. Bahwa Hanabilah meskipun batas garisnya dekat dengan musyabbihah, mereka bukanlah musyabbihah. Dan Asy’ariyyah-Maturidiyyah meskipun batas garisnya dekat dengan mu’athilah, mereka bukanlah mu’athilah. Semuanya masih sama-sama Ahlus Sunnah. Wallahu A’lam. []
Oleh: Ustadz Muhammad Atim