BANJIR saat ini melanda beberapa daerah di Indonesia. Tentu saja, hal ini membuat beberapa aktivitas menjadi terhambat. Selain itu, banjir juga menyebabkan kerugian material bagi masyarakat.
Bencana banjir juga menyebabkan beberapa daerah kekurangan pasokan air bersih. Ini tentunya berpengaruh pada kebersihan dan kesehatan, termasuk sarana untuk bersuci.
Lantas, bagaimana umat Islam memenuhi keperluan wudhu dan bersucinya di kala banjir? Dapatkan air banjir dimanfaatkan untuk bersuci?
BACA JUGA: Cara Bersuci saat Banjir
Ustaz Farid Nu’man Hasan, sebagaimana dikutip dari laman NU Online, memaparkan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:
إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ, إِلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ, وَلَوْنِهِ
“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatu yang bisa menjadikannya najis kecuali jika sudah berubah aroma, rasa, dan warna.” (HR Ibnu Majah No 521)
Hadits ini didha’ifkan para ulama seperti Imam asy-Syafi’i, Imam Abu Hatim, Imam an Nawawi, Imam az Zaila’i, dll. (Khulashah al Badr al Munir, 1/8, Al Majmu’, 1/110, Nashbur Rayah, 1/94)
Namun, walau haditsnya dha’if, para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa jika salah satu dari tiga sifat air itu berubah maka air sudah tidak lagi suci.
Imam ash-Shan’ani dalam Subulus Salam, 1/19, menjelaskan:
قال ابن المنذر: قد أجمع العلماء: على أن الماء القليل والكثير إذا وقعت فيه نجاسة فغيرت له طعماً، أو لوناً، أو ريحاً فهو نجس، فالإجماع هو الدليل على نجاسة ما تغير أحد أوصافه
Berkata Ibnul Mundzir: “Para ulama telah ijma’ bahwa air yang sedikit dan banyak, jika terkena najis lalu berubah rasa, warna, dan aroma, maka dia menjadi najis. ” Maka, ijma’ adalah merupakan dalil atas kenajisan sesuatu yang telah berubah salah satu sifat-sifatnya.”
Adapun ulama yang membolehkan berwudhu dengan air banjir dengan catatan air yang digunakan untuk bersuci tidak ditemukan komponen najis atau komponen selain tanah dan debu (mukholith) yang sampai mengubah warna, rasa, atau bau dari air. Sebab, perubahan air karena faktor tercampur tanah atau debu tidak sampai mencegah kemutlakan nama air.
Hal ini diterangkan dalam Kitab al-Muqaddimah al-Hadramiyah.
وَلَا يضر تغير بمكث وتراب وطحلب وَمَا فِي مقره وممره
“Perubahan air sebab diamnya air (dalam waktu lama), sebab debu, lumut, dan sebab sesuatu yang menetap dalam tempat menetapnya air dan tempat berjalannya air merupakan hal yang tidak dipermasalahkan.” (Syekh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Bafadhal, al-Muqaddimah al-Hadramiyah, Hal. 21)
Alasan diperbolehkannya bersuci dengan menggunakan air banjir yang keruh adalah untuk mempermudah masyarakat dalam bersuci. Sebab air keruh yang bercampur tanah dan debu merupakan hal yang sering kita temukan sehari-hari.
BACA JUGA: Banjir, Renungan dan Instropeksi Diri
Selain itu, air yang tercampur debu sejatinya hanya sebatas memperkeruh warna air, tidak mengubah nama air hingga memiliki nama tersendiri. Hal ini seperti disampaikan dalam kitab Fath al-Wahhab:
لا تراب وملح ماء وَإِنْ طُرِحَا فِيهِ ” تَسْهِيلًا عَلَى الْعِبَادِ أَوْ لِأَنَّ تَغَيُّرَهُ بِالتُّرَابِ لِكَوْنِهِ كُدُورَةً وَبِالْمِلْحِ الْمَائِيِّ لِكَوْنِهِ مُنْعَقِدًا مِنْ الْمَاءِ لَا يَمْنَعُ إطْلَاقَ اسْمِ الْمَاءِ عَلَيْهِ وَإِنْ أَشْبَهَ التَّغَيُّرُ بِهِمَا فِي الصُّورَةِ التَّغَيُّرَ الْكَثِيرَ بِمَا مَرَّ
“Air tidak dikatakan berubah sebab bercampur debu atau bercampur garam air, meskipun keduanya (sengaja) dilemparkan pada air, (hukum demikian) bertujuan untuk memudahkan masyarakat dan karena debu hanya memperkeruh air dan garam air merupakan gumpalan yang berasal dari air yang tidak sampai mengubah kemutlakan nama air, meskipun perubahan dengan dua komponen ini secara bentuk menyerupai perubahan pada air yang banyak sebab benda-benda yang melebur (mukhalith).” (Syekh Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, juz 1, hal. 5)
Berbeda jika meyakini perubahan air banjir lebih dominan karena faktor benda selain tanah yang mencampuri air seperti sampah, najis dan benda lainnya, sehingga sampai mengubah terhadap bau, rasa dan warna air, maka air itu tidak dapat digunakan untuk bersuci. []