Oleh : Al Ghumaydha
RINDU yang membeku itu kini perlahan mencair. Menjadi kehangatan yang menyusup ke dalam relung jiwanya. Menghabiskan hari libur bersama keluarga di kampung halaman. Itu menjadi kado terindah bagi Fathin usai ujian semester.
“Nduk, simbah kangen banget sama awakmu.”
“Inggih, Mbah sami. Saya juga kangen sama simbah,” jawab Fathin sembari memijit kaki simbahnya.
“Kamu itu kenapa juga to pake sekolah di kota?”
“Terus mau gimana, Mbah? Bapak sama ibu kan ingin yang terbaik untuk saya.”
“Kalo mau yang terbaik itu apa yo harus keluar kota?” gerutu simbah. “Simbah iki kepingin kumpul sama cucu-cucu dan anak-anak simbah. Umur simbah wis nggak panjang, nanti kalo mati nggak bisa lagi kumpul sama kalian. Sekarang mumpung masih hidup simbah kepingin ditemani.”
“Saya sih kepinginnya gitu, Mbah. Tapi saya kan harus sekolah.”
“Yowis yowis,” kata simbah mengalah. “Nduk, nanti kamu tidur sama simbah ya? Temenin simbah,” pinta simbah seperti anak kecil.
“Iya, Mbah,” jawab Fathin sembari tersenyum sayang. “Sekarang kita sholat dulu yuk. Habis itu kita bobo!” ajak Fathin.
Simbah menuruti keinginan cucunya itu. Fathin menuntun simbahnya yang tua renta ke belakang. Dibantunya simbah berwudhu. Setelah wudhu, keduanya kembali masuk kamar. Fathin sholat Isya’ berjama’ah dengan simbah. Selesai sholat Fathin tidur di samping simbahnya.
“Nduk, kamu tahu mbah To kan?”
“Iya Fathin tahu.”
“Tahun lalu dia sudah naik haji. Terus kapan ya simbah nyusul?”
Fathin menghela nafas. “Insya Allah nanti, Mbah. Kalau Allah sudah kasih simba,” jawab Fathin lembut.
“Tapi kapan? Simbahmu ini sudah tua, Nduk nanti kalau keburu mati gimana? Simbah kepingin sekali bisa naik haji,” kata simbah sambil menitikkan air mata.
Fathin memandang wajah keriput simbahnya. Dia tidak bisa menjawab apa-apa, hanya mampu membendung air mata. Namun itu terlalu sakit dirasakan Fathin. Karena itu ia memilih menumpahkannya. “Sudah malam, Mbah. Tidur yuk!” bisiknya sambil meghapus air mata simbah.
—000—
“Aku nggak tahan denger simbah kepingin naik haji,” kata Fathin.
“Sama, Nduk. Ibu sama bapak juga iba kalo ingat simbahmu,” sahut ibu.
“Kalau sawah itu dijual, terus sekolahmu dan Zulya gimana? Bayaran bapak jadi kuli mana cukup?” jawab bapak.
“Terus mau sampai kapan? Nunggu hujan uang?” gerutu Fathin.
“Hus! Jangan ngomong begitu.”
“Bentar lagi Fathin lulus. Fathin akan bekerja dan cari uang yang banyak. Jadi nggak perlu khawatir. Jual saja sawah itu dan simbah naik haji. Beres to?” kata Fathin sekenanya.
“Nggak semudah itu, Nduk.”
“Pak, Bu, hidup itu nggak usah dibikin sulit. Kita masih punya Allah dan Gusti Allah itu Maha Kaya. Rezeki itu pasti datang kok saat kita benar-benar butuh.”
Bapak dan Ibu menghela nafas dan saling pandang mendengar ocehan putri sulungnya.
Fathin ingin membantu simbah dengan tabungannya. Memang seberapa banyak tabunganmu, Fathin. Kamu pikir naik haji cukup dengan uang Rp. 300.000, 00. Batinnya mengomeli diri sendiri. Fathin masuk kamarnya yang sekaligus kamar adiknya. Dia melihat Zulya menimang-nimang celengan ayamnya. Zulya mengocok-ocok celengan tersebut.
“Zulya, kamu sedang apa?” tanya Fathin mengagetkan Zulya.
“Oh, Mbak Fathin.”
Fathin mendekati adiknya yang duduk di atas tempat tidur. Dengan lembut Fathin bertanya, “Kamu lagi ngapain, Zul?”
“Celenganku wis piro ya, Mbak? Sudah cukup apa belum untuk bantu simbah naik haji?” tanya Zulya.
Mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut malaikat kecil itu Fathin jadi iba. Betapa mengharukan, selain dirinya gadis kecil berusia 6 tahun itu juga ingin membantu simbah naik haji.
“Celenganmu disimpan wae. Buat sekolahmu besok.” jawab Fathin.
“Tapi aku kan juga kasihan sama simbah, Mbak.”
“Makanya, kamu rajin-rajin sholat dan berdo’a. Minta sama Allah memberi rezeki kepada simbah untuk naik haji.”
“Iya, Mbak,” jawab Zulya. “Aku juga selalu berdo’a biar bapak sama ibu bisa naik haji. Aku juga kepingin lho, Mbak besok kalo besar bisa naik haji,” kata Zulya polos.
Ah Zulya, kalimatmu membuat hati Fathin gerimis.
Pagi yang cerah. Di ufuk timur fajar merah merekah dengan indahnya. Fathin sudah rindu belanja di pasar. Dulu ketika masih seusia Zulya, dia sering menemani ibunya berbelanja di pasar yang tak jauh dari rumahnya. Dan pagi ini Fathin hendak bernostalgia. Tapi ada yang berbeda, kali ini dia pergi dengan Zulya.
Tanpa sengaja bola mata Fathin menangkap sosok kakek renta duduk menanti pembeli ditemani dagangan balonnya yang mulai kusam. Fathin menangkap bayangan simbah di sana. Dia jadi tak tega. Ah, hitung-hitung sedekah. Lirih Fathin dalam hati. Sepasang kakinya pun mulai melangkah menghampiri si kakek.
“Mbah, beli balonnya satunggal,” kata Fathin.
Nampak raut wajah gembira si kakek mengetahui satu pembeli datang. “Oh iya, Nduk. Mau yang mana?” tanya si kakek.
“Yang ini ya, Mbah?” Fathin mengambil satu balon berwarna biru. “Berapa?”
“5.000, Nduk.”
Fathin menyodorkan selembar uang 10.000. “Kembaliannya dipun agem kemawon.” kata Fathin sambil tersenyum tulus.
“Alhamdulillah. Matur suwun, Nduk.” jawab kakek riang.
“Sama-sama.”
“Semoga selalu dilancarkan rezekinya sama Gusti Allah,” tambah Kakek lagi.
“Aamiin,” jawab Fathin kemudian berlalu pergi.
Di tengah jalan Zulya bertanya, “Mbak, balonnya mau dikasih siapa?”
Fathin melongo. Sejenak ia berpikir. Niat awalnya kan cuma mau nolong si Kakek. “Buat kamu aja deh!” kata Fathin akhirnya, sembari menyodorkan balon kepada Zulya.
“Ah, yang benar saja? Masa Zulya main balon kaya adik bayi,” gerutu Zulya.
“Ha… ha… emang kamu udah besar?”
“Mbak Fathin sih, kenapa harus beli barang nggak ada gunanya gini. Padahal kita sendiri butuh uang untuk simbah naik haji,” protes Zulya.
“Zulya, mungkin simbah butuh uang untuk naik haji. Tapi kamu perlu tahu bahwa masih ada yang lebih membutuhkan daripada kita dan simbah,” Fathin berusaha memberi pengertian.
“Tapi kita kan juga butuh uang, Mbak.” nada bicara Zulya terdengar memelas.
Fathin menghela nafas. “Bersyukurlah dengan kondisi kita saat ini, Zul. Kita masih beruntung bisa makan tiga kali sehari, bisa sekolah, bisa mandi dengan air bersih, tapi bagaimana dengan saudara kita di luar sana? Bahkan sesuap nasi pun dalam waktu satu hari tak mereka dapatkan,” nasihat Fathin lembut sambil menatap mata adiknya yang berbinar. “Bukankah sesama saudara kita harus saling menolong? Insya Allah, Allah akan menggantinya berlipat ganda.”
Zulya manggut-manggut mengerti. Fathin tersenyum lega melihatnya.
Kurang 20 langkah menuju rumahnya Fathin melihat simbah sedang menyapu halaman rumah. Mengetahui hal itu Fathin menggamit tangan Zulya dan secepat kilat berlari menuju pintu rumah. Sampai di sana Fathin menyerahkan belanjaannya kepada Zulya. “Zul, tolong bawa masuk ke dalam ya?” perintahnya. Sementara adiknya masuk ke dalam rumah, Fathin bergegas mengambil alih sapu lidi yang dipegang simbah.
“Mbah, sini biar saya saja yang nyapu. Simbah itu nggak perlu repot-repot, nanti kalo sakit gimana coba? Lebih baik simbah istirahat saja,” kata Fathin sambil meminta sapu simbah.
“Sudah, Nduk. Ora opo-opo, awakmu masak wae. Simbah ini nggak tahan kalo disuruh diam saja. Istirahat terus ya capek to, Nduk.”
“Sampun, Mbah sampun. Simbah duduk saja di sini sambil leyeh-leyeh,” kata Fathin sambil menuntun simbahnya duduk di atas cangkruk.
Sementara Fathin sibuk melanjutkan pekerjaan simbahnya, simbah yang tengah duduk lekat-lekat memandang gerak tubuh cucunya itu. Tanpa terasa pikirannya menerawang sangat jauh. Simbah bangkit berdiri dan masuk ke dalam rumah. Setelah menyapu Fathin berniat mencari simbah. Ketika dia membuka korden kamar simbah, Fathin urung melanjutkan langkah. Dilihatnya simbah berdiri menatap gambar ka’bah di dinding kamarnya. Mata simbah berkaca-kaca, Fathin jadi nelangsa.
Gadis berkerudung itu melangkah mendekati simbah. Dia berdiri di samping simbah sambil memandang gambar ka’bah itu. Tiba-tiba simbah bergumam pelan, “Apakah simbah nggak berhak pergi ke sana?”
Fathin mengelus bahu simbah dengan butiran bening mengalir di pipinya. “Seluruh hamba-Nya berhak pergi ke sana,” lirihnya.
—000—
Tiga hari lagi Fathin masuk sekolah. Hari ini dia sudah berkemas untuk berangkat kembali ke tempat kos besok pagi. Sebenarnya Fathin tidak tega meninggalkan simbah. Tapi mau bagaimana lagi? Dia harus menuntut ilmu untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter. Fathin ingin menemani simbah di masa-masa silam simbah. Fathin ingin menghibur simbah kala beliau bersedih. Fathin ingin menghapus air mata simbah kala beliau menangis.
“Nduk, kamu jangan pergi dulu.”
“Kok gitu? Fathin kan mesti sekolah. Rumah saya kan di sini, begitu lulus sekolah saya pasti akan tinggal di sini lagi.”
“Iya kalo simbah masih hidup, tapi kalo simbah sudah nggak ada sebelum kamu kembali gimana?”
Si cucu tidak menjawab, dia hanya mendesah lembut.
Fathin berpamitan dengan bapak, ibu, adik, juga simbahnya. Ia merasa berat melangkahkan kaki pergi meninggalkan rumah. Seperti ada sesuatu yang mengganjal perasaannya. Fathin teringat percakapannya dengan simbah kemarin malam.
Satu bulan telah berlalu. Di suatu sore, saat Fathin tengah belajar bersama teman-teman satu kosnya ibu kos mencari Fathin. Ada telepon dari keluarganya. Fathin girang sekali menerima telepon itu, apalagi ketika bapak mengabarkan bahwa Simbah akan naik haji. Itu berarti bapak dan ibu menerima usulan Fathin waktu itu.
“Simbah pasti seneng banget. Inggih to, Pak!”
“Tentu saja. Oh, ini Simbah mau bicara sama kamu.”
“Hallo?” terdengar suara simbah yang parau dari seberang.
“Iya hallo! Mbah, Alhamdulillah akhirnya simbah bisa naik haji. Simbah seneng kan?”
“Ya iya to, Nduk. Tapi, simbah berangkat masih berapa bulan lagi ya? Masih lama ya?”
“Nggak, Mbah. Nggak lama, sebentar lagi simbah naik haji. Jangan mikir yang aneh-aneh. Pokoknya simbah kudu naik haji!”
“Iya, iya.”
Fatin bisa merasakan kebahagiaan simbahnya. Pasti betapa bahagia wanita tua itu, mimpi yang selama ini hanya menjadi angan-angannya kini benar-benar akan terwujud.
—000—
Sampai di tempat kos, sebelum Fathin dan teman –temannya sempat membuka pintu ibu kos memanggil Fathin. Dia mendapat telepon dari keluarganya. Fathin gembira sekali dia tidak sabar untuk memberitahukan nilainya kepada bapak. Namun, wajah cerah Fathin seketika berubah menjadi mendung pekat yang mengerikan begitu mendengar kabar simbahnya sakit parah.
“Cepatlah pulang, Thin. Beliau menanyakanmu terus,” perintah bapak.
Dengan segera Fathin berkemas dan di hari itu juga dia pulang ke kampung halaman. Sampai di rumah Fathin disambut dengan isak tangis keluarganya. Suara isak tangis itu terdengar dari kamar simbah. Fathin pun menuju ke sana. Sampai di ambang pintu dia berhenti, menatap sekilas pemandangan di depannya. Perlahan Fathin melangkah mendekati ranjang tidur simbah. Dia duduk berlutut di atas lantai di samping simbah menggantikan posisi bapaknya. Ditatapnya wajah pucat simbah. Fathin menggenggam tangan simbah, diletakkannya tangan itu di pipinya. Satu buliran bening basahi pipi Fathin.
“Ini Fathin, Mbah.” suaranya parau.
“Fathin, kamu pulang dengan selamat ya, Nduk,” kata simbah membelai kepala Fathin yang dibalut jilbab.
Fathin mengangguk dan kembali berkata, “Nilai ujian Fathin tertinggi di sekolah.”
“Alhamdulillah, cucu-cucu simbah memang pintar.”
“Simbah sebentar lagi jadi naik haji to?” tanya Fathin sesenggukan.
“Insya Allah jadi, tapi simbah sudah lelah.”
“Biar Fathin dan Zulya yang pijitin simbah.”
“Simbah nggak mau dipijat, simbah cuma mau do’a kalian agar simbah nanti tenang di sana.”
Semuanya semakin terisak. “Bukannya simbah kepingin naik haji?” tanya Zulya di tengah isaknya.
“Simbah memang ingin naik haji. Tapi keinginan itu tidak harus dituruti. Jika memang bukan takdir nggak perlu dipaksakan.” kata simbah berusaha tegar. Air mata terus mengalir, simbah berpesan, “Zulya, jadilah kamu anak yang solehah dan cerdas, contohlah mbakyumu ini. Ojo nakal, turuti nasehat orang tua. Jadilah anak yang berbakti.” Simbah ganti menatap Fathin. “Thin, kamu harus jadi contoh yang baik untuk adikmu. Jangan durhaka sama orang tua. Manfaatkanlah ilmu yang kamu milikki sebaik mungkin, semoga cita-citamu jadi dokter terkabul. Semoga kamu dan Zulya dapat jodoh yang baik.”
Ruangan itu masih diliputi rasa sendu. Simbah lalu menatap bapak dan ibu. “Nduk, Le, Fathin dan Zulya ini titipan dari Gusti Allah. Jadi jagalah mereka sebaik mungkin, jadilah orang tua yang baik bagi mereka. Pertahankanlah keharmonisan kalian semua.” pesan simbah kepada bapak dan ibu.
Sampai di sini Fathin merasa tangan simbah sangat dingin. “Simbah sudah sangt lelah. Simbah istirahat dulu, nanti kita berjumpa lagi di sana. Asyhadu anlaa ilaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasulullah…”
Simbah menghembuskan nafas terakhirnya. Dada Fathin sesak, dipeluknya jasad simbah. Fathin menghapus sisa air mata simbah. []
*Keterangan
Nduk : Nak
Inggih : Iya
Sami : Sama
Iki : Ini
Wis : Sudah
Yowis : Ya sudah
Piro : Berapa
Satunggal : Satu
Dipun agem kemawon : Dipakai saja
Matur suwun : Terima kasih
Ora opo-opo : Tidak apa-apa
Awakmu : Dirimu
Wae : Saja
Sampun : Sudah (bahasa jawa halus)
Leyeh-leyeh : Bersantai
Kudu : Harus
Mbakyu : Kakak (perempuan)
Ojo : Jangan