IMAM An-Nawawi dalam “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab” (Juz 2, Hlm. 26 dan seterusnya, Maktabah Al-Irsyad, Saudi Arabia), menyebutkan panjang lebar tentang batalnya wudhu karena sentuhan kulit laki-laki dan perempuan, dengan menyajikan ragam pendapat dari ulama Syafi’iyyah sendiri, perbandingannya dengan madzhab aimmah lainnya, serta dalil-dalil yang digunakan oleh Syafi’iyyah serta dalil-dalil yang digunakan oleh ulama yang berpendapat berbeda.
Salah satu dalil terpenting yang digunakan oleh Syafi’iyyah, yang menyatakan batalnya wudhu karena sentuhan kulit laki-laki dan perempuan, adalah firman Allah ta’ala:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاء
Artinya: “Atau kalian menyentuh perempuan.” (QS. Al-Maidah [5]: 6)
BACA JUGA: Apakah Bersentuhan Kulit Suami Istri Membatalkan Wudhu?
Dan makna لَامَسْتُمْ atau لَمَسْتُمْ (keduanya qiraat mutawatirah) pada ayat di atas adalah menyentuh dengan tangan.
An-Nawawi (Hlm. 35) menyatakan:
وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى (أَوْ لمستم النساء) وَاللَّمْسُ يُطْلَقُ عَلَى الْجَسِّ بِالْيَدِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى (فلمسوه بأيديهم)، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَاعِزٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ (لَعَلَّكَ قَبَّلْتَ أَوْ لَمَسْتَ) الْحَدِيثَ، وَنَهَى عَنْ بَيْعِ الْمُلَامَسَةِ وَفِي الْحَدِيث الْآخَرِ (وَالْيَدُ زِنَاهَا اللَّمْسُ).
وَفِي حَدِيثِ عَائِشَةَ (قَلَّ يَوْمٌ إلَّا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَطُوفُ عَلَيْنَا فَيُقَبِّلُ وَيَلْمِسُ)، قَالَ أَهْلُ اللُّغَةِ: اللَّمْسُ يَكُونُ بِالْيَدِ وَبِغَيْرِهَا، وَقَدْ يَكُونُ بِالْجِمَاع،ِ قَالَ ابْنُ دُرَيْدٍ: اللَّمْسُ أَصْلُهُ بِالْيَدِ ليعرف مس الشيء، وَأَنْشَدَ الشَّافِعِيُّ وَأَصْحَابُنَا وَأَهْلُ اللُّغَةِ فِي هَذَا قَوْلَ الشَّاعِر:
وَأَلْمَسْتُ كَفِّي كَفَّهُ طَلَبَ الْغِنَى
وَلَمْ أَدْرِ أَنَّ الْجُودَ مِنْ كَفِّهِ يُعْدِي
Artinya: “Para ulama kami berhujjah dengan firman Allah ta’ala: (Atau kalian menyentuh perempuan), dan kata “al-lams” digunakan untuk menyentuh dengan tangan, Allah ta’ala berfirman: (Mereka memegangnya dengan tangan mereka).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ma’iz radhiyallahu ‘anhu: (Mungkin kamu hanya mencium atau menyentuh). Nabi juga melarang jual beli mulamasah (jual beli hanya dengan menyentuh barang dengan tangan, tanpa melihatnya), dan dalam Hadits lain: (Zina tangan adalah menyentuh).
Dalam Hadits ‘Aisyah: (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hampir tiap hari mendatangi rumah kami, kemudian mencium dan menyentuh kami). Para ahli bahasa berkata: “al-lams” itu bisa dengan tangan dan bisa juga dengan hal lainnya, dan kadang bisa berarti jima’.
Ibnu Duraid berkata: “al-lams” asalnya dengan tangan, untuk diketahui menyentuh sesuatu. Asy-Syafi’i, para ulama Syafi’iyyah dan para ahli bahasa menyenandungkan perkataan seorang penyair tentang hal ini:
‘Saya menyentuhkan tanganku dengan tangannya untuk mendapatkan kekayaan, Dan saya tidak tahu bahwa kedermawanan dari tangannya itu menular sifatnya’.”
Namun ada sekian riwayat yang shahih dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa beliau menyentuh kaki Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat Nabi sedang shalat. Misalnya Hadits:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنْ الْفِرَاشِ فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمِهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ…
Artinya: “Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tempat tidur, kemudian saya mencari beliau, sampai tangan saya mengenai bagian dalam telapak kaki beliau, dan beliau sedang di tempat sujud, dan kedua kaki beliau dalam posisi tegak, dan beliau membaca, ‘Ya Allah, saya berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu…’.” (HR. Muslim)
An-Nawawi (Hlm. 37) menjawab hal ini dengan menyatakan:
وَالْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ فِي وُقُوعِ يَدِهَا عَلَى بَطْنِ قَدَمِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُحْتَمَلُ كَوْنُهُ فَوْقَ حَائِلٍ وَالْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِهَا الْآخَرِ أَنَّهُ لَمْسٌ مِنْ وَرَاءِ حَائِلٍ وَهَذَا هُوَ الظَّاهِرُ فِيمَنْ هُوَ نَائِمٌ فِي فِرَاشٍ
Artinya: “Dan jawaban atas Hadits ‘Aisyah tentang tangan beliau yang mengenai bagian dalam telapak kaki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa ada kemungkinan hal itu terjadi dengan adanya penghalang, dan jawaban atas Hadits beliau yang lain, bahwa itu adalah sentuhan dari balik penghalang, dan ini hal yang zhahir berlaku pada orang yang tidur di atas tempat tidur.”
Pelajaran:
1. Menyimpulkan hukum untuk satu persoalan bukan perkara mudah, karena harus melewati proses mengumpulkan semua dalil yang membahas hal tersebut, memilah Hadits yang shahih dari yang dhaif, melakukan jama’ atau tarjih saat terjadi pertentangan antar dalil di mata peneliti, memahami makna yang dikandung oleh satu lafazh, dan seterusnya.
Tidak semudah waham sebagian orang, bahwa menyimpulkan hukum itu cukup membaca terjemah ayat atau terjemah Hadits dari satu tulisan di internet, menganggap pendapat yang disampaikan pada tulisan tersebut sebagai kebenaran mutlak, kemudian memvonis pihak yang berbeda pendapat telah menyelisihi dalil.
2. Penguasaan terhadap bahasa Arab dan kemampuan melakukan analisis kebahasaan, merupakan modal yang sangat penting untuk memahami kandungan hukum dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini bisa dilihat dari analisis bahasa untuk kata “al-lams”, sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi di atas.
BACA JUGA: Menyentuh Kemaluan Anak, Apakah Membatalkan Wudhu?
3. Adanya Hadits shahih yang digunakan oleh sebagian ulama untuk mendukung pendapatnya, tidak berarti pendapat yang berbeda otomatis menjadi marjuh (lemah) dan harus ditinggalkan.
Pada kasus di atas, Hadits ‘Aisyah yang shahih, yang digunakan oleh sebagian ulama untuk menyatakan sentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu, dijawab oleh An-Nawawi, bahwa Hadits tersebut masih mengandung dua kemungkinan, yaitu sentuhan itu langsung kulit bertemu kulit, atau bisa juga ada penghalang sehingga kulit tidak bersentuhan.
Dan karena ia mengandung dua kemungkinan, maka itu tidak bisa membatalkan pendalilan dengan ayat Al-Qur’an yang menunjukkan batalnya wudhu karena sentuhan kulit laki-laki dan perempuan non-mahram.
4. Tulisan ini hanya mengulas satu sisi saja dari luasnya pembahasan dalam tema ini. Yang ingin mengetahui lebih lanjut, bisa baca langsung kitab “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab”.
Wallahu a’lam.
Oleh: Muhammad Abduh Negara