PERNIKAHAN adalah salah satu akad yang paling dimuliakan dalam Islam. Amat luhur, sampai pernikahan yang ada dalam berbagai pensyariatan termasuk sebelum genapnya risalah Islam diakui keabsahannya. Ketika Abul ‘Ash ibn Rabi’ masuk islam dan menyusul istrinya, Zainab binti Rasulillah ke Madinah setelah sekian lama terpisah, Nabi tidak menyuruh mereka mengulangi ijab kabulnya.
Maka sebaliknya, perzinaan adalah ketercelaan yang amat nista. Ini kisan tentang seorang bernama Ziyad ibn Abihi.
Ibu Ziyad yang bernama Sumayyah -bukan Sumayyah syahidah pertama-, adalah seorang wanita yang hidup dalam pergaulan bebas. Siapa ayah Ziyad? Semula tak seorangpun tahu dan bisa memastikan. Maka dia dinisbatkan “Ibn Abihi” yang berarti “Anak Bapaknya.”
Tapi suatu saat menjelang akhir hayat, bangsawan agung Quraisy itu, Abu Sufyan ibn Harb, bersumpah bahwa Ziyad adalah anaknya. Maka ketika Sayyidina Mu’awiyah ibn Abi Sufyan memerintah, beliau mengumumkan Ziyad sebagai adiknya dengan nama ‘Ziyad ibn Abi Sufyan’.
“Demi Allah”, ujar Sayyidina ‘Abdullah ibn ‘Umar, “Ada beberapa hal yang dilakukan Mu’awiyah yang aku sangat takut melakukan satu saja di antaranya.” Apa salah satunya?
“Menisbatkan Ziyad pada ayahnya, padahal dia lahir di luar pernikahan.” Ya, ini hal yang diharamkan. Kelak Ziyad juga punya putra bermasalah bernama ‘Ubaidullah, lelaki yang paling bertanggungjawab atas peristiwa memilukan di Karbala.
Suatu hari, Ziyad marah pada dua ‘sepupunya’, yakni ‘Utbah dan ‘Utaibah, kedua putra Abu Lahab. ‘Sepupu’ karena Ummu Jamil, ibu keduanya adalah saudari Abu Sufyan.
“Hai dua anak musuh Allah!”, gertak Ziyad.
‘Utbah dan ‘Utaibah berpandangan, lalu tersenyum. “Alhamdulillah”, ujar mereka, “Kami memang anak Abu Lahab dan Ummu Jamil, dua orang yang pernikahannya disahkan oleh Al Quran dengan ayatNya: ‘Wamra-atuhu hammalatal hathab.. Dan istrinya pembawa kayu bakar’. Inilah bukti nyata bahwa orangtua kami menikah dengan sah.”
Mendengar itu, Ziyad merasa sangat malu hingga memerah wajahnya dan tak sanggup berkata-kata. Ungkapan ‘Utbah dan ‘Utaibah, kedua bekas menantu Rasulillah yang dulu dipaksa orangtuanya menceraikan Ruqayyah dan Ummu Kultum padahal amat cinta itu, mengenainya jantungnya bagian ulu. Keduanya lahir dari pernikahan yang disahkan Al Quran, sementara Ziyad tak seberuntung itu.
Apa yang kita pelajari dari ‘Utbah dan ‘Utaibah? Selain betapa Al Quranpun sangat menghormati pernikahan, bahkan di kalangan musuh kebenaran; selalulah temukan alasan untuk menjunjung kemuliaan orangtua kita bahkan setelah kematiannya.
Membaca kisah ini dalam Al Ajwibah Al Muskitah karya Syaikh Ibrahim ibn ‘Abdillah Al Hazimi, saya tertegun. ‘Utbah dan ‘Utaibah menyindir kita, seperti apa bakti diri, apalagi jika bapak-ibu kita muslim sejati?
Dan tentang akad suci itu, baik kita belum atau sudah menunaikannya, mari menjaganya dengan penghormatan paripurna. Tak mengapa tidak setuju pada pernikahan usia muda, tapi janganlah ada ucap dan rasa merendahkan keagungannya. Dan bagi kita yang beristri atau bersuami, mari hati-hati di musim reuni, saat cinta lama rentan bersemi kembali. []