KETIKA cinta sepasang muda-mudi telah bermuara dalam sebuah ikatan yang suci. Ikatan yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Ikatan yang bernama pernikahan. Sebuah akhir dari penantian panjang untuk menggenapkan separuh agama. Tentang sebuah jawaban dari doa yang selama ini diucapkan di sepertiga malam terakhir.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya,” (HR Bukhari no. 1905, 5065, 5066, Muslim no. 1400).
Segala luapan emosi kebahagiaan tersemat. Kebahagiaan membumbung tinggi dalam dada. Harapan juga cita-cita mulia tergambar jelas dalam pancaran sepasang bola mata. Keindahan sebuah rumah tangga bahagia telah menari-nari riang dalam guratan senyum yang dipancarkan. Bahwa cinta telah berhasil membawa tindakan-tindakan luar biasa dalam kehidupan.
Bahwa terkadang realita tidak sejalan dengan harapan manusia. Menjadi keluarga bahagia, menjadi istri sholehah tidak didapat begitu saja. Membutuhkan pembelajaran-pembelajaran hebat dari perjalanan waktu. Persiapan dan juga mental yang tidak mudah goyah oleh terpaan hujan atau badai sekalipun.
Bahwa dua kepala yang berbeda disatukan dalam satu atap yang sama, maka tidak mengherankan jika terkadang ditemui sebuah perdebatan-perberdebatan kecil sebagai bumbu keromantisan keluarga baru. Tentang sifat-sifat menyebalkan yang terkadang membuat kita harus banyak-banyak beristighfar atau tentang perbedaan-perbedaan yang lainnya.
Allah berfirman,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujuraat : 13)
Seorang istri bagaikan asisten “nahkoda”, ia harus mampu mendampinginya mengemudikan kapal di tengah-tengah guncangan ombak yang siap menghadang tanpa aba-aba. Menghindari karang-karang terjal yang kapan saja dapat melukai kapal dan menenggelamkannya. Ia harus kuat juga lihai mengemudikan kapalnya. Tidak boleh lengah barang sediktpun.
Ia harus membuat perencanaan yang tepat dalam membantu nahkoda. Ia harus membersamai para penumpang hingga tujuan yang benar-benar diharapkan. Memmperhatikan hak mereka agar tidak ada yang terabaikan. Ia harus mempunyai nyali berkali lipat untuk mengarungi samudra yang terbentang luas di depan mata.
Kapal itu adalah rumah, nahkoda adalah sang suami, penumpang adalah anggota keluarga, bahwa halangan-halangan itu adalah ujian-ujian hidup dalam rangka menghebatkan. Seperti ego yang terkadang sangat tidak dewasa atau lingkungan masyarakat yang entah bagaimana rupanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ada empat diantara kebahagiaan : istri yang shalihah (baik), tempat tinggal yang luas, tetangga yang shalih (baik), dan kendaraan yang nyaman. Ada empat kesengsaraan: tetangga yang buruk, istri yang buruk (tidak shalihah), rumah yang sempit, dan kendaraan yang buruk,” (HR. Ibnu Hibban dalam Shohih-nya no. 4032).
Bahwa lingkungan masyarakat (tetangga) sangat berperan penting dalam episode perjalanan kita. Bahwa lingkungan yang baik akan membawa pengaruh baik kepada kita dan begitu juga sebaliknya. Memilih lingkungan adalah hal penting dan harus diutamakan. Karena kelak kita akan memiliki buah hati yang harus tumbuh dalam lingkungan yang dapat mempengaruhi kehidupannya kelak dengan baik. Juga menjadi benteng kuat ketika ia tidak berada bersama keluarga.
Allah berfirman,
“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang beribadah kepada Rabbnya di pagi dan senja hari dengan mengharap wajah-Nya.”
Diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang shalih dan orang yang jelek bagaikan berteman dengan pemilik minyak wangi dan pandai besi. Kamu tidak akan terluput dari pemilik minyak wangi (dua keuntungan); engkau bisa membeli (minyak wangi) darinya atau minimal engkau mendapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau mendapat baunya yang tidak enak.” (HR. Bukhari, no. 2101)
Dalam hadis lainnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Seseorang itu sesuai dengan kadar agama dan akhlak teman karibnya. Oleh karenanya, perhatikanlah siapa yang akan menjadi teman karib kalian.”( HR. Abu Daud, no. 4833).
Semoga Allah mengaruniai sakinah, dan mawaddah dalam keluarga kita. Menganugerahkan tetangga yang membahagiakan. Menjaga dari segala keburukan-keburukan yang menjauhkan dari syari’at-Nya. Mendamaikan segala rasa yang terkadang menyesakan dada. []
Sumber: muslimah