Oleh: Ari Putra Utama
ariputrautama67@gmail.com
Siapakah dia? sungguh mulia akhlaknya? Sempurna sekali ibadahnya? bolehkah aku melamarnya? Bolehkah aku menikah dengannya?
Begitulah keadaan di zaman saat ini. Banyak sekali pertanyaan yang terlintas dalam hati seorang akhwat ketika dirinya merasakan getaran cinta di dalam hatinya, namun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Maka timbulah sebuah pertanyaan, “Bolehkah seorang akhwat mengajukan atau menawarkan dirinya untuk menikah dengan seorang ikhwan?”
Islam adalah agama yang sangat sempurna. Sudah menjadi hal yang lumrah ketika ada seorang akhwat menawarakan dirinya kepada seorang lelaki untuk menikah. Sebagaimana dalam firman Allah QS al-Qashash ayat 27 disebutkan:
إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِين
“Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik.”
Dalam ayat ini disebutkan bahwa Nabi Syu’aib menawarkan anak gadisnya kepada Nabi Musa.
Menikah adalah Sesuatu yang bisa mempertemukan dua insan menjadi satu bentuk padu. Dalam pernikahan kita mesti tahu bagaimana kekurangan dan kelebihan pasangan kita, maka dari itu yang harus kita lakukan sebelum menikah adalah mempunyai kematangan serta kesiapan lahir maupun batin.
Seorang akhwat akan menjadi sebuah permata indah nan elok, jika ia bisa menjaga dirinya dalam ketaatan kepada Allah. Tetapi saat dirinya mempunyai hasrat ingin menikah, namun tak kunjung datang seorang pangeran pergi menuju kerumahnya, maka boleh baginya menawarkan diri untuk melamar seorang lelaki sesuai dengan syari’at dan ketentuan yang sudah ada dalam dienul islam. Sebagaimana siti khodijah yang saat itu menawarkan dirinya ingin menikah dengan Nabi Muhammad SAW.
Pertemuan dengan Nabi Muhammad menerbitkan kembali impiannya yang lama dilupakan. Kehadirannya membisikkan masa depan yang lebih baik bagi diri, bahkan bangsanya. Awalnya, ia ragu karena usia yang terpaut jauh. Tetapi, semakin lama ia bertambah yakin. Perbedaan usia tak seharusnya menjadi halangan.
Ia meyakini keutamaan dan keindahan akhlak pemuda yang kelak menjadi Rasul Allah. Keyakinan itu menguapkan keraguannya serta menumbuhkan keberanian dan keteguhan. Kemasyhuran Nabi Muhammad di Mekkah kala itu, sampai kepada Khadijah yang merupakan saudagar kaya raya. Kemudian Ibunda Khadijah membentuk kerjasama dagang dengan Nabi Muhammad.
Ia meminta pekerjanya yang bernama Maysaroh -seorang pria- untuk mengawasi dan mengikuti semua kehendak Muhammad serta tidak boleh menolak semua perintahnya. Agar terlihat sifat asli dan kepribadiannya.
Karena jika Maysaroh membantah perintah, ide, gagasan Muhammad, bisa jadi watak laki-laki itu tidak akan nampak, bisa jadi Muhammad bin Abdullah tampak baik karena usulan dan masukan Maysaroh.
Sepulang perjalanan dagang dari Syria, Maysaroh melaporkan segala apa yang ia lihat dari sosok Muhammad. Akhirnya, ia yakin bahwa pemuda itu adalah laki-laki yang tepat. Kemudian Khadijah meminta bantuan sahabatnya, Nafisah binti Munabbih untuk menemui Muhammad al-Amin agar mau menikahinya.
Sungguh Khadijah wanita jenius, ia tahu siapa orang yang tepat untuk diserahkan urusan ini. Kecerdasan Nafisah menjaga martabat Khadijah sebagai wanita dan membesarkan hati Muhammad sebagai pria. dan pada Akhirnya, mereka menikah dan kisah cinta keduanya dicatat sebagai sejarah sepasang manusia terbaik.
Gayung pun bersambut, Nabi Muhammad menerima lamaran Khadijah. Melalui pamannya Abu Thalib, Nabi melangsungkan lamaran resmi untuk pernikahan.
“Sungguh tidak ada yang lebih melegakkan dari rasa cinta yang tersampaikan dan tidak ada yang lebih membahagiakan dari cinta yang diterima”.
Dalam hadits juga dikatakan : Imam Bukhari menceritakan cerita dari Anas r.a. ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah SAW dan berkata: “Ya Rasulullah! Apakah baginda membutuhkan daku?”
Putri Anas yang hadir dan mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu,“Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan.” Anas berkata kepada putrinya: “Dia lebih baik darimu, Dia senang kepada Rasulullah SAW lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau!”(HR Bukhari).
Dalam kitab Fathul Bari dan Kitab Tafsir telah diterangkan bahwa perempuan yang menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah bintul Harits.
Dari hadits tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini, kata Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah, umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”
Teruntuk para akhwat, niatkan ikhlas karena Allah. Jika sang pangeranmu belum juga berkunjung datang kerumahmu, ungkapkanlah melalui walimu agar ia yang akan menyampaikan niatanmu itu, dan serahkan serta libatkan semuanya kepada Sang Maha Cinta.
Jodoh tak akan pernah tertukar, sama halnya seperti bunga yang memekar yang tidak akan pernah tertukar dengan kecantikannya. Karena menawarkan diri itu lebih mulia daripada tersiksa khamer asmara. Wallahu’alam. []