“AYAH pergi cuma sebentar, dedek jangan ikut ya!”
Dengan janji demikian, sang anak punya harapan ayahnya lekas pulang. Namun ternyata hingga sekian bulan, ayahnya tidak pulang karena ternyata ayahnya merantau.
“Ibu mau pergi ke pasar, dedek minta dibelikan apa?”
Mendapatkan tawaran itu, sang anak menyebutkan oleh-oleh yang diinginkannya. Menunggu dengan penuh harap saat ibunya pulang dibawakan. Namun ternyata saat sang ibu pulang tidak membawakan dengan alasan lupa.
Begitulah kebohongan-kebohongan kecil yang diajarkan orang tua kepada anaknya. Padahal, sang anak meyakini orang tuanya harus dipercayai. Tidak mungkin mereka berdusta, sayangnya memberikan kepercayaan yang begitu besar kepada orang tuanya tidak bernilai apa-apa selain berbalas kebohongan yang menyakiti hati.
Lambat laun, sang anak tidak lagi pernah bertanya ayahnya mau ke mana dan kapan pulang. Tak pernah meminta apa pun saat ibunya ke pasar. Ia sudah bosan dibohongi. Sudah bosan dibesarkan dengan kata-kata dusta yang pada akhirnya membuat hatinya terluka.
BACA JUGA: Nasihat Seorang Ayah pada Anaknya
Hari-hari berlalu begitu cepat, sang anak tumbuh dewasa. Keadaan berbalik cerita.
“Aku mau ke rumah teman cuma sebentar,” ujar sang anak.
Ayahnya percaya, ia menunggu kedatangan anaknya. Namun hingga malam, anaknya belum pulang. Saat anaknya pulang, ayahnya memarahi hingga sedemikian rupa. Lalu sang anak menjawab, “Ini belum ada satu hari, yah. Dulu ayah kerap mengatakan ‘sebentar’ saat bepergian hingga berbulan-bulan, tidakkah ayah memikirkan perasaanku?”
Sang ayah terdiam. Ia tak menduga, kebiasaan yang dahulu dilakukan menjadi contoh buruk untuk anaknya.
“Ibu, aku mau ke pasar, mau nitip sesuatu?”
Ibunya kebetulan ingin makan satu jenis jajanan pasar, ia menyebutkannya. Dalam pikirannya, saat anaknya pulang ia akan melahap makanan yang diinginkannya. Ternyata saat anaknya pulang tidak membawa pesananannya. Ibunya marah sedemikian rupa. Lalu sang anak menjawab, “Dulu ibu kerap menjanjikan sesuatu, namun tidak pernah mewujud dengan alasan lupa. Padahal saat itu, diriku begitu menginginkannya dan dengan tega ibu membunuh keinginanku dengan kata ‘lupa’.”
Sang ibu terdiam. Ia baru paham, bahwa seorang anak kerap menjadikan apa yang diinginkan sebagai impian. Namun, ia tak bisa memperbaiki kesalahannya di masa lalu.
BACA JUGA: Tidak Cinta, Bukan Berarti Harus Cerai
Begitulah, kebohongan-kebohongan kecil dari seseorang yang harusnya bisa dipercaya bisa menyebabkan luka yang tak tersembuhkan. Renungkanlah, sebelum menjadi penyesalan seumur hidup. []
[*] Arief Siddiq Razaan merupakan nama pena dari Dani Sukma AS, seorang dosen dan penggiat literasi serta pendiri Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK).