Oleh: Farah Riza, farahriza38@gmail.com
ABAHKU berwatak keras. Dalam hal apa pun. Terutama kedisiplinan. Meski beliau penyayang, namun ada satu hal yang sangat membuatku tersiksa.
Sebagai anak perempuan satu-satunya di antara lima anak, beliau terlalu jahat untukku dibanding ke anak yang lain. Masalah ikhwan, ya … itu masalah yang sangat menyiksaku. Bahkan ketika aku belum paham apa artinya non mahram.
Entah dalam masalah apa pun yang menyangkut ikhwan, abah akan marah besar. Semisal ada dari mereka yang mampir untuk meminjam buku, itu sudah cukup jadi alasan abah untuk marah dengan mendiamkanku seharian.
Begitu kerasnya abah membuatku tumbuh menjadi gadis yang cuek. Bila tak ada kepentingan mendesak, aku takkan bicara dengan lawan jenis.
Sikapku pun terkesan angkuh pada non mahram. Namun, meskipun sangat cuek, ternyata tidak membuat mereka membenciku. Selepas menempuh pendidikan SMA, ada pelajaran hidup yang membuatku mengerti. Kerasnya abah membuatku terlindung dari keinginan bergaul bebas. Meski sebagian remaja paham aturan pergaulan dengan lawan jenis, namun jiwa labil ABG tentu lebih mudah tergoda.
Satu hal yang akhirnya kusyukuri. Beberapa cowok berniat menyuntingku justru karena tertutupnya diri. Bagi mereka, begitulah muslimah seharusnya. Terjaga dari pergaulan bebas.
Terlepas dari rasa angkuh yang kumiliki saat itu, sungguh kerasnya abah telah melindungiku. Musnah sudah pandangan atas jahatnya abah, terlebih ketika seorang ikhwan berani mendobrak sikap angkuhku dengan lamarannya.
***
Sesungguhnya orangtua hanya ingin yang terbaik bagi anak-anaknya. Terima kasih, Abah. []