Oleh: Sri Suyanti, Samarinda, Kalimantan Timur
KEJADIAN ini kualami sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, aku baru saja diterima bekerja sebagai sales perusahaan swasta. Kebetulan sekali, perusahaan ini baru membuka cabang di kotaku. Produk-produknya pun sudah dikenal masyarakat karena sering diiklankan di beberapa stasiun TV. Sebagai sales, tentunya, aku harus menjual barang itu sebanyak-banyaknya agar aku mendapat bonus penjualan yang banyak pula.
Kulakukan cara apapun agar penjualanku melebihi target yang ditentukan perusahaan. Di antara teman-teman, penjualankulah yang paling banyak. Aku sering berbohong kepada pembeli tentang kehebatan produk-produk jualanku, agar mereka tertarik dan membelinya. Bila ada karyawan baru, mereka kuajari bagaimana cara berbohong untuk meyakinkan produk kepada pembeli. Tidak hanya itu, bila ada pembeli yang minta barangnya dikirim ke luar kota, aku dan teman-teman meminta ongkos kirim melebihi ketentuan. Sisa ongkos kirim tersebut lalu kubagi dengan teman-teman. Banyak kecurangan-kecurangan yang telah kulakukan. Yang ada dalam benakku hanya bagaimana mengumpulkan uang sebanyak mungkin tanpa mengindahkan aturan agama. Aku sangat menikmati pekerjaanku. Kesenangan dunia telah memabukkanku sehingga aku benar-benar lupa bahwa aku telah berbuat dzalim kepada sesama.
Sebenarnya, setiap melaksanakan shalat fardhu, hati kecilku berkata bahwa itu uang haram dan berdosa. Tapi, entahlah, kesenangan dunia yang semu itu telah membutakan hatiku.
Setelah empat tahun bekerja, tiba-tiba aku terserang penyakit asma. Beberapa dokter sudah kudatangi. Hasilnya nihil. Penyakitku malah semakin parah. Uang yang kudapat dari hasil kerja semuanya ludes. Akhirnya aku berhenti kerja dan mencari pekerjaan lain. Aku mendapat pekerjaan di sebuah warung makan. Namun, pekerjaanku lebih sengsara dan penyakitku bertambah parah sampai-sampai aku hampir mati dan berkeluh kesah pada teman-temanku, “Mengapa semakin mendekatkan diri pada Allah hidupku semakin sengsara?” Temanku berkata bahwa bukan Allah yang membuatku sengsara, tapi perbuatan masa laluku yang membuatku sengsara.
Aku pun tersadar. Aku telah berbuat curang, berbohong dan mengambil hak orang lain tanpa mereka ketahui, padahal Allah Maha Melihat. Maka Allah membalas perbuatanku lewat penyakit ini. Maafkan aku, ya Allah. Aku telah berdusta kepadamu.
Terima kasih atas penyakit ini, ya Allah, sehingga aku sadar atas perbuatanku. Kau memberikan aku waktu untuk bertaubat kepada-Mu sebelum ajal menjemputku. []
SUMBER: MAJALAH HIDAYAH EDISI 67