3 Maret 1924, Khalifah Islam yang terakhir di Turki runtuh. Ada banyak faktor yang menjadi sebab runtuhnya kekhalifahan tersebut. Salah satunya berkaitan dengan Palestina. Mengapa?
Sebagaimana dikisahkan dalam buku “Catatan Harian Sultan Abdul Hamid II” karya Muhammad Harb, masa pemerintahan kahalifah terakhir yaitu Sultan Abdul Hamid II, dipenuhi dengan berbagai macam konspirasi, intrik, dan fitnah dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah upaya-upaya sistematis yang dilakukan kaum Yahudi untuk mendapatkan tempat tinggal permanen di tanah Palestina, yang pada masa itu merupakan bagian dari wilayah kekhalifahan Turki Utsmani.
Sultan Hamid II bersikap tegas dalam mempertahankan tanah Al Quds, Palestina. Itulah yang membuat kaum Yahudi semakin gencar mengatur strategi untuk meruntuhkan kekhalifahan Islam dengan berbagai cara.
Pada 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada Sultan Abdul Hamid II, untuk mendapatkan izin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan tegas. Pemerintah Utsmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, mereka tidak akan diizinkan menetap di Palestina. Mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Pada 1896, Theodor Hertzl, si Bapak Yahudi Dunia sekaligus penggagas berdirinya Negara Yahudi, memberanikan diri menemui Sultan Abdul Hamid II sambil meminta izin mendirikan gedung di Al-Quds. Permohonan itu dijawab Sultan dengan penolakan.
“Sesungguhnya Daulah Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu, simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri,” tegas Sultan.
Pada 29-31 Agustus 1897, dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan Khilafah Utsmaniyyah, pihak lawan melakukan konferensi Bassel di Swiis.
Pada 1900 Sultan Abdul Hamid II mengeluarkan keputusan pelarangan atas rombongan peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal di sana lebih dari tiga bulan, dan paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait.
Pada 1901 Sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap Sultan Abdul Hamid II. Kedatangan Hertzl kali ini untuk menyogok sang penguasa kekhalifahan Islam tersebut. Di antara sogokan yang disodorkan Hertzl adalah uang sebesar 150 juta poundsterling khusus untuk Sultan; membayar semua utang pemerintah Utsmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling; membangun kapal induk untuk pemerintah dengan biaya 120 juta frank; memberi pinjaman lima juta poundsterling tanpa bunga; dan membangun Universitas Utsmaniyyah di Palestina.
Semuanya ditolak Sultan. Bahkan, Sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya.
Berikut ini beberapa pernyaaan Sultan Hamid II terhadap tawaran pihak Yahudi tersebut yang ia titipkan kepada perdana menterinya;
“Nasihati Mr Hertzl agar jangan meneruskan rencananya. Aku tidak akan melepaskan walaupun sejengkal tanah ini (Palestina), karena ia bukan milikku. Tanah itu adalah hak umat Islam.”
“Umat Islam telah berjihad demi kepentingan tanah ini dan mereka telah menyiraminya dengan darah mereka. Yahudi silakan menyimpan harta mereka. Jika suatu saat kekhilafahan Turki Utsmani runtuh, kemungkinan besar mereka akan bisa mengambil Palestina tanpa membayar harganya.”
“Akan tetapi, sementara aku masih hidup, aku lebih rela menusukkan pedang ke tubuhku daripada melihat tanah Palestina dikhianati dan dipisahkan dari Khilafah Islamiyah. Perpisahan adalah sesuatu yang tidak akan terjadi. Aku tidak akan memulai pemisahan tubuh kami selagi kami masih hidup.”
Sejak saat itu kaum Yahudi dengan gerakan Zionismenya melancarkan gerakan untuk menumbangkan Sultan. Mereka D menggunakan jargon-jargon “liberation”, “freedom”, dan sebagainya hingga kekhalifahan Turki Utsmani jatuh dan berganti menjadi negara Republik.
“Sesungguhnya aku tahu, bahwa nasibku semakin terancam. Aku dapat saja hijrah ke Eropa untuk menyelamatkan diri. Tetapi untuk apa? Aku adalah Khalifah yang bertanggung jawab atas umat ini. Tempatku adalah di sini, di Istanbul,” tulis Sultan Abdul Hamid II dalam catatan hariannya. []
SUMBER: REPUBLIKA