Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S.
Penulis Buku
HIJAB bukan sekadar trend tapi juga simbol ketaatan seorang hamba kepada RabbNya. Maka sungguh beruntung orang-orang yang memilih jalan hijrah dengan berhijab sempurna. Sebab sejatinya hijab adalah konsekuensi atas ketakwaan.
Kalimat tauhid yang senantiasa dilafadzkan oleh seorang muslim dalam setiap shalatnya merupakan pengakuan. Hanya Allah yang layak di sembah. Hanya Allah yang layak dinanti ridhonya. Maka semestinya tekad untuk menjadi pribadi yang bertakwa terhujam di dalam diri. Adapun takwa adalah menjadikan diri teguh di atas jalan kebenaran. Menaati perintahNya dan menjauhi larangannya.
Adapun salah satu perintah Allah yang wajib untuk ditaati adalah perintah untuk menuntup aurat alias berhijab. Hijab artinya penghalang. Penghalang aurat kita dari setiap mata yang tidak halal untuk melihatnya
Allah memerintahkan kepada setiap muslimah untuk menutup auratnya secara sempurna dengan hijab syari. Jika hari ini ada pendikotomian antara hijab syari dan tidak syari, sesungguhnya hal tersebut menunjukkan kepada kita bahwa sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) telah mengisi jiwa-jiwa umat. Sehingga tampak ‘halal’ meninggalkan sebagian hukum syara dan mengambil sebagian yang lainnya. Muncul aksi pilah-pilih hukum.
Padahal hakikatnya, Islam bukan prasmanan. Yang disukai diambil, yang tidak disukai diabaikan. Bukan. Islam itu sistem kehidupan, yang jika kita berjalan di atasnya maka kita akan selamat dunia akhirat. Seperangkat aturan di dalamnya adalah baik bagi manusia.
Adapun hijab syari adalah pakaian yang telah Allah wajibkan untuk digunakan oleh muslimah yang sudah baligh saat berada di kehidupan umum, seperti di jalan, di pasar, di rumah sakit, dll. Pakaian yang wajib tersebut terdiri atas 2, yakni kerudung (khimar) dan jilbab.
Khimar (kerudung) adalah penutup aurat wanita bagian atas yakni dari kepala hingga menutup dada. Dalilnya ada di dalam surat An-Nur:31, “…dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka.”
Sedangkan jilbab adalah pakaian yang lurus, longgar dan tidak berpotongan. Kebanyakan orang saat ini menyebutnya gamis. Dalilnya adalah surat An-Nisa: 59, “ Hai Nabi, katalanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka…”
Jadi jelaslah bahwa makna jilbab adalah pakaian. Bukan nama lain dari kerudung sebagaimana dipahami oleh sebagian besar muslimah saat ini. Padahal di dalam kamus Al-muhith telah disebutkan secara gamblang bahwa jilbab diserupakan dengan sirdab (terowongan), maknanya pakaian yang tidak berpotongan.
Jilbab juga dimaknai sebagai milhafah yakni mantel. Artinya jilbab merupakan pakaian luar, di dalam jilbab (gamis) ada pakaian yang biasa dipakai di dalam rumah, entah itu daster, kaos, celana panjang, rok, dll. Pakaian yang ada di balik jilbab disebut dengan mihna.
Aku bertakwa, maka aku berhijab. Kalimat itu semestinya menjadi prinsip setiap muslimah. Karena hijab adalah wujud ketundukan kita kepada Allah. Bukan sekadar penutup rambut dan tubuh. Tapi ada pancaran takwa darinya. Maka, berhijab lah karena Allah semata niscaya kita akan merasakan manisnya iman. Wallahu’alam… []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri.