Oleh: Zulhamdi M. Saad, Lc
KETIKA seseorang menganggap besar dirinya ia justru menjadi kecil di sisi Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa ‘merasa bangga dengan diri sendiri’ atau ‘ujub’ adalah hal yang sangat berbahaya. Ia akan menghapuskan amal kebaikan bahkan amalan yang telah dilakukannya dengan penuh keikhlasan.
Oleh sebab itulah Rasulullah SAW sering sekali mengingatkan sahabat-sahabatnya untuk berhati-hati dari ujub, beliau bersabda: “Kalau sekiranya kalian tidak pernah berdosa, sungguh yang aku takutkan atas kalian sesuatu yang lebih besar dari itu: Ujub… ujub…” (Hadist Hasan dari kitab Shohihul Jami’: 5303 dan Silsilah Shohihah : 658)
Ibnul Qayyim pernah mengungkapkan: “Jika engkau tidur pada malam hari, lalu engkau bangun pada pagi harinya dengan penuh penyesalan, itu lebih baik bagimu dari pada engkau bangun lalu shalat qiyamullail dan pada bagi harinya engkau bangga dengan hal itu. Jika engkau tertawa sedangkan dalam hati engkau mengakui kesalahan dan dosamu, itu lebih baik dari pada engkau menangis dan engkau ingin menunjukan bahwa engkau menangis. Seorang yang merintih karena dosa lebih dicintai oleh Allah dari pada seorang yang bersuara keras bertasbih karena ingin menunjukan kalau ia bertasbih.” (Tahzib Madarik Al-Sholihin hal. 120)
BACA JUGA: Bangga dengan Amal Baik Sendiri, Hati-hati Ujub
Para sahabat dan salafushalih yang seluruh umat saat ini mengakui kebesaran mereka, tidak pernah membanggakan diri mereka dan justru mengatakan hal sebaliknya. Seperti itulah perkataan Abu Bakar ra ketika diangkat menjadi khalifah: “Aku telah diangkat menjadi pemimpin kalian sedangkan aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian.” Sedangkan semua telah mengakui sebaik-baik manusia setelah Nabi SAW adalah Abu Bakar ra.
Sayyidah Aisyah ra berkata: “Suatu ketika aku memakai baju baruku, lalu aku memandanginya dengan penuh takjub. Abu Bakar berkata: “Apa yang sedang engkau lihat wahai Aisyah? Sesungguhnya Allah tidak melihat kepadamu.” Aku berkata: “Mengapa seperti itu?” Abu Bakar berkata: “Tidakkah engkau mengetahui bahwa jika seorang hamba merasa takjub dengan perhiasan dunia, Allah murka padanya sehingga ia melepaskan perhiasan itu”. Aisyah berkata: “Lalu aku lepaskan pakaian itu dan aku bersedekah dengannya. Maka Abu Bakar berkata: “Semoga Allah mengampunimu.” (Hilyatul Auliya, Abu Nuaim : 1 /37)
Begitulah para pendahulu dan teladan kita selalu menyandarkan keutamaan yang dimilikinya hanya kepada Zat yang memiliki segala keutamaan. Mengembalikan pujian hanya kepada Zat yang berhak dipuji. Mengembalikan segala bentuk kesuksesan hanya kepada Allah SWT semata. Bukan justru mengatakan: “oh, itu gue banget…” Alangkah indahnya jika ucapan yang keluar dari bibir seperti halnya perkataan Bilal ra: “Ana lastu illa maa a’thoni Robbii” (Aku bukanlah apa-apa kecuali apa yang telah Tuhanku berikan padaku).
BACA JUGA: Ujub dan Terpedaya dengan Amal Shalih
Akhirnya, tidaklah layak menganggap baik diri kita, namun sadarilah akan kekurangan kita dalam mengabdi kepada-Nya. Kehidupan kita tidak ada apa-apanya tanpa Allah. Sesungguhnya pelajaran dan tauladan itu bukan hanya dengan menunaikan amal shalih saja, akan tetapi sangat bergantung dengan kesungguhan menggapaikan keridhoan Allah dalam amal shalih itu.
Seperti halnya doa seorang hamba yang shalih yang digambarkan di dalam Al-Quran: “Dan untuk aku beramal shalih yang Engkau ridhoi.” (QS. Al-Ahqof: 15)
Ketika kita semakin menjauh dari gambaran berbahaya di atas, kita akan semakin mendekat untuk menggapai keridhoan Allah. Dan setelah itu, taufiq dan pertolongan-Nya akan datang bersamaan. Wallahu a’lam bishowab. []
SUMBER: IKADI