KU lihat laki-laki itu berpakaian putih rapih, bersih, memakai sandal, dan lekas melangkahkan kaki pergi ke rumah kekasihnya. Fenomena ini sering ku lihat, bahkan semua orang. Tidak hanya lelaki itu, tapi beberapa lelaki pun melakukan hal yang sama. Sandal-sandal mereka berbaris rapih di depan rumah kekasih mereka.
Sedangkan aku? Aku hanya menatap mereka dalam keheranan. Aku berada di tempat dimana orang bisa datang dengan pakaian yang seadanya. Bersih atau rapih itu pilihan. Bahkan tampilan kami di sini bisa melampaui tampilan yang mereka kenakan untuk mengunjungi rumah-Nya.
BACA JUGA: Hati Bening Ahli Surga
Saat kami berada di tempat yang sama, di rumah-Nya. Ku perhatikan ahli ibadah; lelah dan menangis. Tetapi pancaran ketenangannya tak habis-habis. Lalu kuperhatikan diriku sendiri; berburu senang dalam dosa, mencari tawa dalam sia. Tetapi pedih dan gelisah yang ku rasa.
Bisa jadi saat aku berteriak membela dosa, diam-diam kebaikan telah pergi meninggalkanku, karena malu melihat diriku kehilangan akhlak mulia. Sedangkan saat aku mengutuk dan mencaci kebenaran, bisa jadi kejahatan sedang tersenyum merasuki diriku.
BACA JUGA: Kala Rasul Ditanya Soal Ahli Ibadah Namun Buruk dalam Bertetangga
Jika hanya dunia yang jadi tujuan, agama bisa jadi peralatan. Jika sekedar karya yang jadi impian, surga bisa jadi agunan.
Tetapi saat diri menolong agama Allah yang jadi kegelisahan dan tekad membara, maka diri ini akan siap berletih-letih berjuang dalam nama-Nya. Biarlah yang besar itu karya ku, bukan diriku. Biarlah yang tinggi itu capaianku, bukan hatiku. []
Sumber: Menyimak Kicau Merajut Makna | Salim A. Fillah | Pro-U Media