SAYA agak terkejut hari itu. Tiba-tiba anak pertama saya marah besar saat saya bertanya, “Aa, Mau mandi jam berapa?”.
Raut mukanya merah padam, lalu Ia berkata agak keras, “Aku Gak Mau Mandi”.
Saya tarik napas dulu sejenak. Kemudian bertanya, “Kenapa Aa Gak Mau Mandi? Masih ingat cerita Ummi tentang tungau-tungau yang ada di kulit kita?”
Bukan berbaikan, Ia malah bilang,”Kenapa sih Ummi suka maksa?”. Saya berhenti bertanya, lalu saya bawakan sebuah buku. “Aa boleh baca ini, silahkan.”
Ia pun meraih buku tulisan bu Wismi Direktur Sekolah Al-Falah. Buku itu bukan buku cerita anak-anak. Buku bacaan yang banyak tulisannya dan hanya beberapa buah gambar dengan ukuran kecil.
Saat itu anak pertama saya ini berusia sembilan tahun. Ia meraih buku tersebut kemudian membacanya. Setelah selesai membaca dua halaman dari buku tersebut dengan lembut ia berujar pada saya,”Ya Udah, sekarang Aa mau mandi dulu.”
Ah leganya, tak perlu memakai energi beradu argumentasi. Cukup berikan satu buku lalu setelah ia membaca dan memahami apa yang dibacanya, tak butuh waktu lama arahan dirinya yang langsung menggerakannya.
Anak ini tak pernah saya paksa untuk bisa membaca kombinasi huruf sejak dini. Anak ini tak pernah diajak membaca buku cara cepat membaca. Anak ini membaca sesuai tahapannya saja. Tampak lambat memang, saat usianya tujuh tahun ia baru bisa lancar membaca.
Namun, syukur kepada Allah, saat Ia menemukan masalah, kemampuan membacanya mampu menolong dirinya. Ia tidak hanya membaca kombinasi huruf. Ia mampu memahami bacaan yang dibacanya. Ia mampu mengaplikasikan bacaan yang sudah dibacanya. []