BAGI Uwaimir bin Malik Al Khazraji atau Abu Darda, bangun pagi sudah menjadi kebiasaannya. Ia hampir tak pernah keduluan oleh matahari pagi. Baginya, bangun pagi merupakan suatu kebiasaan yang telah menahun.
Ada beberpa hal yang biasanya Abu Darda lakukan seusai bangun pagi. Ia selalu bergegas menuju sebuah kamar yang paling istimewa dalam rumahnya. Di situlah terletak berhala sembahannya, yang amat dikasihi dan dijaganya. Baginya bangun pagi dan kemudian melihat berhala sudah menjadi satu bagian yang tak terpisahkan. Hidupnya akan terasa kurang jika ritual itu ia lewatkan.
Biasanya Abu Darda akan segera membungkuk memberi hormat, kemudian diminyakinya patung itu dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar. Bukan masalah baginya. Wangi-wangian itu hanya sedikit dari kekayaannya yang bertumpuk.
Pagi ini, Abu Darda memberi pakaian baru pada patung berhalanya. Sebuah baju dari sutra yang sangat megah. Ia memperolehnya kemarin dari seorang pedagang dari Yaman yang sengaja mengunjunginya.
Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu Dard masuk bersiap pergi ke tokonya. Hari itu Yatsrib sangat ramai. Maklum, kota itu penuh sesak dengan para pengikut Rasulullah Muhammad saw yang baru kembali dari peperangan Badar. Di barisan paling depan, terlihat kumpulan tawanan yang terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda mendekati orang ramai. Ia bertanya kepada seorang pemuda suku Khazraj. Kepadanya ia menanyakan di mana Abdullah bin Rawahah.
Abdullah bin Rawahah adalah teman akrab Abu Darda. Namun Abdullah masuk Islam sedangkan Abu Darda tetap dengan keyakinannya. Namun persahabatan keduanya tidak terputus. Hari itu akhirnya Abu Darda menghabiskan waktu di tokonya, sibuk berjual-beli dan memimpin para pekerjanya. Mejelang sore ia segera pulang ke rumah. Tentu dengn segudang penat yang tertinggal di kepala.
Tapi alangkah terkejutnya ketika ia mendapati istrinya duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa takut terpancar di wajahnya.
“Ada apa?” Abu Darda bertanya.
“Temanmu Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari,” jawab istrinya di sela isak tangis, “dia menghancurkan patung sembahan kita.”
Abu Darda menengok ke kamar patung. Dilihatnya patung itu sudah hancur berkeping-keping. Seketika timbul amarahnya. Dia langung hendak mencari Abdullah bin Rawahah—sahabatnya itu mestilah bertanggung jawab terhadap ini. namun kemudian ia berpikir, “Seandainya patung itu benar tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri…”
Lalu ditinggalkannya patung itu. Ia tetap mencari Abdullah. Namun kini ia ingin memeluk Islam. Bersama-sama Abdullah, dia pergi menghadap Rasulullah dan menyatakan ikrar syahadat.
Sejak detik pertama Abu Darda iman kepada Allah dan RasulNya, dia iman dengan sebenar-benarnya iman. Dia sangat menyesal terlambat masuk Islam. Sementara itu kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang dalam tantang agama Allah ini. mereka hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan taqwa yang selalu mereka tanamkan dalam diri mereka di sisi Allah.
“Aku harus mengejar ketertinggalanku.” Ucap Abu Darda suatu kali. Tekadnya ia buktikan. Ia bersusah-payah siang dan malam dan ia berpaling kepada urusan ibadah dan untuk sementara memutuskan hubungannya dengan dunia. Abu Darda mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari dan menghafal Alquran dengan tekun. Ia berusaha menggali pengertian Alquran siang dan malam. Tatkala perdagangannya dirasakannya mengganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majelis-majelis ilmu, maka segera ditinggalkannya tanpa ragu-ragu ataupun menyesal.
Abu Darda cukup beruntung. Ia bisa langsung menggali dan belajar ilmu langsung dari Rasulullah. Dalam tempo yang singkat, ia bahkan sudah bisa mengejar teman-temannya. Banyak rekannya yang terkagum-kgum karena Abu Darda telah hafal Alquran sama seperti mereka yang telah lama memeluk Islam. Waktu berikutnya, ia menjelma menjadi ahli hadist, ahli fikih, ahli hikmah, filosof, dan ia juga ahli berdiplomasi.
Tetapi semua sahabat tahu. Tidak begitu saja Abu Darda menjelma seperti itu. Perjuangan Abu Darda untuk mengejar ketertinggalannya sangat berat dan gigih. Ia bahkan harus kehilangan harta kekayaannya yang sangat banyak. Ia kehilangan lebih banyak waktu untuk bercengkerama dengan sahabat dan keluarganya. Dan betapa Abu Darda berusaha untuk selalu mengutamakan kesucian batin daripada kesucian lahir. Abu Darda sadar sepenuhnya, bukan sesuatu yang sulit untuk selalu berkembang dan menambah pengetahuan. Asal ulet dan mempunyai keinginan yang sungguh-sungguh.
Kini, setiap kali matahari pagi terbit, ada kesibukan lain yang dikerjakan oleh Abu Darda. Ia kini tidak lagi memburu patung berhala. Setiap hari, Abu Darda selalu mengusahakan dirinya untuk terus dan terus belajar. Tanpa kenal henti, sepanjang hayatnya. []