Oleh : Sri Bandiyah, sby_sr@yahoo.com
“MBAK itu friendly, asik diajak gaul.”
“Mbak orangnya ramah, nggak sombong sama yuniornya.”
“Mbak murah senyum ya, jadi nggak takut buat kenalan.”
Beberapa komentar adik kelas, saat SMA.
“Dewasa banget, asik buat curhat.”
“Ini nih, akhwat qowi, akhwat yang bisa mendaki tanpa keki.”
“Keren, PD abis…nggak malu-malu kuliyah sambil jualan.”
Testimony para adik tingkat.
BACA JUGA: 5 Tanda Istri Tak Bahagia dalam Pernikahan
Huaaa…maaf, maaf ya jika dianggap sombong, alias PAMER.
Yang jelas, sempat ada beberapa teman yang kasih julukan “Khadijah masa kini.” Waw…GEDE KEPALA!
JUMAWA, atau apapun namanya, saya pernah mengalaminya.
Tapi….
Beda kondisi, beda strategi.
Awal menikah, tentu saja yang kami lakukan adalah menikmati masa-masa indah pacaran dan perkenalan(ini karena, saya baru mengenal suami 45 hari sebelum ijab). Pembawaan saya yang dewasa digadang-gadang keluarga suami untuk lebih banyak momong. Pasalnya suami saya adalah orang paling pendiam. Diceritakan oleh para keluarga, ketika mereka SMS dengan begitu panjang lebar menanyakan kabar, kepulangan, atau yang lain pada suami mereka hanya akan mendapat balasan SMS satu sampai tiga huruf. Jika tidak huruf “Y” huruf “TDK”.
Saat harus adaptasi
Kami dipertemukan dalam dakwah, dan tidak mungkin kami menyingkir setelah merasakan indahnya pacaran.
Hari ke 15 pernikahan.
Kami sudah kembali ke Solo, tinggal di kontrakan sekitar kampus. Saat itu, saya masih mempunyai agenda rutin ngaji tafsir dan hadis tiga hari seminggu jam 05.15 sampai jam 07.00 WIB.
Aku dengan tingkat kedewasaan di atas rata-rata, meninggalkan suamiku yang hanya diam ketika dipamiti. Cuek, kukayuh sepeda menuju kampus.
Pun saat malam rabu, ada jadwal mengisi kajian shiroh di Pesma Akhwat, jam 19.30-20.30, suami tak mau mengantar. Biarkan saja, gerimis juga kukayuh sepeda tak perduli. Ini sudah jadi kesepakatan saat ta’aruf dulu.
Puncaknya, saat itu, hari ke 20 pernikahan kami.
Ada undangan acara dakwah di Tawang Mangu, dua hari satu malam. Khusus akhwat. Suami berat, Secara…kita kan PENGANTIN BARU. Huaaa….
Maka dengan berapi-api aku sampaikan padanya, memberi tahu lebih tepatnya bukan meminta izin. Sudah ditebak, suami diam. Tapi tak mau mengantar. Tak apa, aku wanita mandiri! Akhirnya, aku pun berangkat naik bis. Ku cium tangan suami, dan segera berangkat.
Sepulang dari Tawang Mangu, suami masih diam. Aku pun tahu diri, sudah dua hari tak bertemu. Kucoba memasak menu special, “Jangan Legi.” Butuh banyak pengerbonan membuat menu itu. Secara, aku harus membersihkan belut yang licin, membakarnya, baru kemudian memasaknya bersama santan. Aku pun merapikan rumah kontrakan yang lumayan luas, merapikan kamar dan mengganti sprei dengan nuansa romantis. Jurus terakhir, mandi dan berdandan cantik.
BACA JUGA: Kalau Jodoh Ga Akan Kemana-mana
Ternyata, oh ternyata….
Segala usaha sia-sia.
MENANGIS? Oh No! saya sudah lama tidak melakukan itu. DONGKOL sih iya.
Akhirnya malam itu, kubuat surat panjang memastikan komitmen dakwah seperti saat kita ta’aruf dulu. Saat suami masih diam, kugunakan waktu untuk tilawah dan membaca buku. Kutemukan satu kalimat dalam buku “BarokallahuLaka, salim.A fillah.” Lupa kata-kata persisnya, tapi intinya tentang kemanjaan Aisyah ra yang membuat sang Nabi selalu menciumnya saat bertemu. Ummu Salamah mengatakan, “Nabi tak bisa menahan diri dari kemanjaan Aisyah.”
Hemm…MANJA!
Yup, kucoba sedikit merengek dibahunya. Meminta tolong, mengatakan aku tidak bisa berangkat jika tidak diantar…bahkan sampai jurus terakhir yang kubenci, MENANGIS! Huh, rasanya aneh. Tapi itu jurus dasyat banget. Langsung manjur. Hari-hari berikutnya, aku sukses diantar dan dijemput suami.
Kadang kita terlalu bangga dengan kelebihan diri, merasa bisa menyelesaikan masalah dengan kelebihan yang kita miliki. Padahal, bisajadi masalah itu bisa kita selesaikan hanya dengan sedikit kerendahan hati.
Pada pengalaman saya, ternyata suami lebih senang jika ia dilibatkan dan merasa dibutuhkan. Ia lebih senang jika di saat-saat tertentu, istri bermanja-manja.
Manja tak selamanya negatif loh ya…contohnya manjanya istri dengan suami itu justru berpahala. Ups! Yang masih jomblo jangan mupeng ya? Huehehe….
Bolehlah kita, bergelayut, meminta ini-itu hal yang tidak menyulitkan tapi berkesan. Sesekali bolehlah ketika suami makan, kita minta disuapin seperti anak kecil. Atau saat selesai sholat, tidurlah di pangkuan suami, dengan ekspresi dan intonasi suara yang manja. Udah ah itu dulu, nanti takut ada yang MUPENG.
Intinya, seimbanglah dalam mencontoh dua wanita mulia, Ummahatul Mukminin, siti Khadijah dan Aisyah. []