DALAM sebuah peperangan, kaum Muslimin berhasil memenangkannya. Tak hanya itu, mereka juga membawa harta rampasan secara utuh.
Berbagai jenis emas, perak, permata, sutra, dan berbagai jenis kekayaan duniawi lainnya dari Qadisiah dan Madain dibawa oleh kaum Muslimin. Namun, melihat hal itu sayyidina ‘Umar bin Khaththab bukannya tersenyum bahagia. Ia justru menangis penuh kekhawatiran, jangan-jangan harta itu diberikan dengan kemurkaan-Nya.
“Mengapa engkau menangis, wahai Amirul Mukminin? Padahal Allah Ta’ala telah memenangkan agama-Nya dan memberikan kebaikan kepada kaum Mukminin melalui kepemimpinanmu?” tanya Abdurrahman bin ‘Auf yang masyhur akan kedermawanannya.
“Tidak, Demi Allah. Ini bukanlah kebaikan yang murni dan sejati,” Sanggah ‘Umar.
“Jika ini merupakan puncak kebaikan, maka Abu Bakar lebih berhak mendapatkanya daripada aku,” Jelas ‘Umar.
“Dan jika ini merupakan puncak kebaikan, sudah pasti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam lebih berhak mendapatkannya-pada masanya-daripada masa kami.”
Dengan tetap bersimbah air mata sedih dan khawatir, sayyidina ‘Umar bin Khaththab memuji seluruh pasukan dan panglima yang telah memenangkan jihad dan membawa harta rampasan secara utuh.
Ujarnya, “Betapa amanahnya pasukan ini. Dan betapa amanahnya pula panglimanya, Sa’ad bin Abi Waqqash.”
“Semua ini lantaran engkau yang tidak menyimpan sebersit pun hasrat kekayaan dunia di hatimu. Jika ada secuil syahwat terhadap harta di hatimu, niscaya pasukan itu akan saling bunuh demi memperebutkan ghanimah ini,” timpal ‘Ali bin Abi Thalib yang kala itu berada di dekat ‘Umar. []
Disadur dari Kisah Hikmah.