PEMUDA itu langsung terpesona ketika ia menjadi utusan suku Daus, awal tahun ketujuh Hijriyah. Hanya beberapa saat setelah pertemuan itu, ia memutuskan untuk menjadi pelayan—berkhidmat—kepada Rasulullah SAW.
Ia tidak kembali ke kampung halamannya, melainkan memilih tinggal di masjid, tempat Rasulullah SAW memimpin shalat dan mengajarkan Islam, Madinah Al-Munawwarah.
Hari demi hari ia lalui dengan seksama menyimak setiap perkataan, gerak, dan langkah-langkah Rasulullah. Hampir tak secuil pun materi yang disampaikan oleh Rasulullah SAW terlewatkan. Daya ingatnya sangat tajam. Meski demikian, ia selalu mencatatkan apa saja yang disabdakan oleh Rasulullah SAW.
Beberapa waktu lamanya pemuda tersebut hidup di tengah komunitas orang beriman. Betapa bahagia jiwanya mendapatkan kehidupan yang penuh tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kebahagiaan itu terasa hampa tatkala ia menjenguk ibunya yang sudah sepuh tapi masih berkubang dengan kemusyrikan. Karena sayang dan demi baktinya, ia mengajak dengan argumen yang terang agar ibunya memilih Islam.
Bukan hanya sekali dua kali. Beberapa kali ia tetap mengajak ibunya bersyahadah, bahwa tiada ilah selain Allah SWT dan Muhammad adalah Rasulullah. Sayang, bujukannya tak mempan. Ibunya menolak, bahkan menghindar darinya. Celakanya lagi, ibunya mencela Rasulullah SAW dengan kata-kata yang menyakitkan hatinya.
Dengan perasaan kacau dan langkah gontai lelaki itu kembali ke Madinah. Ditemuinya Rasulullah SAW dengan bercucuran air mata. “Kenapa kamu menangis, wahai Abu Hurairah?” tanya Rasulullah pada laki-laki yang pada masa jahilnya disebut Abdu Syams ini.
“Aku tidak bosan-bosannya mengajak ibuku masuk Islam. Tetapi, ibu masih menolak. Hari ini kuajak lagi masuk Islam, tetapi beliau mengucapkan kata-kata yang tidak pantas mengenai Rasulullah, yang saya tidak sudi mengengarkannya. Tolonglah doakan, ya Rasulullah, semoga ibuku tergugah masuk Islam,” Abu Hurairah mengadu.
Rasulullah pun menengadahkan tangannya ke langit, sembari melafazkan doa untuk kebaikan ibu Abu Hurairah. Semburat hidayah dari langit menembus hati ibunya. Berkat kesabaran dan kerja keras Abu Hurairah, ibundanya memilih jalan Islam ketika beberapa waktu ia mengadukan masalahnya pada Rasulullah SAW tersebut. Jiwanya damai dan bahagia menyaksikan ibunya mengucapkan kalimat syahadah di depannya.
Kejadian itu melengkapi sudah kebahagiaan hidupnya. Ia tak henti-hentinya mengucapkan tahmid, tahlil, dan tasbih. “Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki Abu Hurairah masuk Islam. Segala puji bagi Allah yang telah mengajari Abu Hurairah Al-Quran. Segala puji bagi Allah yang telah memberikan karunia kepada Abu Hurairah menjadi sahabat Rasul-Nya, Muhammad SAW,” begitu ia kerap lantunkan.
Demikianlah. Tak sehari pun berlalu tanpa menimba dan mempraktikkan ilmu dari Rasulullah SAW. Abu Hurairah kian mencintai ilmu dan juga mengajarkan kepada orang lain, baik keluarga dekat maupun orang tak dikenalnya.
Suatu hari Abu Hurairah berjalan melewati sebuah pasar. Di sana ia terpana melihat begitu banyak orang “bersemangat” dalam mengais harta dunia. Sampai-sampai mereka tak menghiraukan seruan menimba ilmu kepada Rasulullah serta menunaikan shalat lima waktu. Mereka seolah tenggelam oleh lautan keuntungan dunia.
“Alangkah sibuknya kalian, hai penduduk Madinah!” teriak Abu Hurairah pada sekerumunan orang. Bagaimana pendapat Anda tentang kesibukan kami, wahai Abu Hurairah?,” sela seorang yang berpengaruh di antara mereka.
“Harta yang diwariskan Rasulullah SAW sedang dibagi-bagi orang. Sayang sekali kalian berada di sini. Mengapa kalian tidak pergi ke sana mengambil bagian?” papar Abu Hurairah. “Di mana?” tanya mereka hampir bersamaan. “Di masjid,” jawabnya.
Mereka merasa dikecewakan Abu Hurairah lantaran mereka tak mendapatkan harta sebagaimana dibayangkan. “Apa kalian tidak melihat banyak orang di masjid itu?” Abu Hurairah balik tanya. “Ada, tetapi mereka ada yang sedang shalat, ada yang membaca Al-Quran, dan ada juga yang sedang belajar tentang halal dan haram,” jawab mereka. “Bodoh kalian! Mereka itu sedang membagi-bagi harta yang diwariskan Rasulullah!” jawab Abu Hurairah cerdas.
Ilmu yang diperoleh langsung dari Rasulullah SAW, memang, telah mengantarkan pribadi Abu Hurairah kaya pengetahuan dan ahli ibadah. Waktu demi waktu ia habiskan untuk menimba ilmu disepanjang hari, serta beribadah pada sepertiga malam bersama isteri dan anaknya.
Abu Hurairah pernah menjadi Wali Kota Madinah. Namun, selama menjabat ia sangat berhati-hati terhadap harta. Sampai-sampai anak perempuannya ia larang mengenakan perhiasan. “Hai anakku, katakan kepada mereka, ayahmu takut kalau saya dibakar api neraka kelak,” terang ayahnya saat anak perempuannya mengadukan ejekan teman-temannya soal ia tak diberi perhiasan.
Hingga akhir hayatnya sifat-sifat yang meneladani Rasulullah SAW itu tetap terpatri dalam diri Abu Hurairah. Kerendahan hatinya tampak sekali ketika jiwanya di ujung kematian. Ia menangis yang membuat orang-orang di sekelilingnya keheranan.
“Mengapa Anda menangis, hai Abu Hurairah?” tanya salah seorang sahabat. “Saya menangis bukanlah karena akan berpisah dengan dunia ini. Saya menangis karena perjalanan saya masih jauh, sedangkan perbekalan saya hanya sedikit. Saya telah berada di ujung jalan yang akan membawa saya ke surga atau neraka,” ucapnya.
Hafal Al-Quran dan sekira 1609 hadits ia riwayatkan. Bekal inilah yang mengantarkan jiwanya tenang saat disambut malaikat sakaratul maut. Untuk bertemu dengan Rabbnya…. []