SERING kita resah dengan sesuatu yang belum dimiliki, padahal begitu banyak nikmat yang belum disyukuri.
Adalah Nabiyullah Ayub ‘Alaihissalam seorang lelaki yang shalih, baik dan kaya raya. Allah karuniakan fisik yang sempurna, sehat, lagi prima. Seorang istri jelita, shalihah nan setia menenemani hari-harinya. Keluarganya harmonis dengan anak-anak shalih dan berbakti, 12 jumlah putranya. Laki-laki semua.
Rumahnya bagus, hartanya melimpah ruah, kebunnya luas, dan ternaknya banyak. Allah karuniakan nikmat yang ruah dalam kehidupannya. Ayub hidup bahagia, berkecukupan dan terhormat.
BACA JUGA: Kisah Nabi Ayub Cambuk Istrinya 100 Kali
Kenikmatan yang melimpah tak menjadikannya sombong dan bangga diri, yang ada adalah syukur dan rendah hati. Ringan tangan untuk berbagi, membantu yang kesulitan dan meringankan beban sesama.
Menginjak usia 50 tahun, ujian mengguncang hidupnya. Ayub lemah, sakit dan tak berdaya. Keluar nanah dari kulitnya, dari kaki hingga kepala. Tubuhnya kian rapuh, kulitnya perih, dan rambut kepalanya rontok berguguran.
Kabar sakitnya Ayub tersebar di masyarakat, orang-orang mulai menjauhi karena takut tertular. Yang kini tinggal dan mengurusnya adalah istri dan anak-anaknya.
Suatu hari ketika istrinya menghidangkan makanan untuk anak-anaknya, tetiba atap rumah yang mereka tinggali roboh dan menimpa keluarga tersebut. Seluruh anak Ayub meninggal dunia.
Betapa pilu hati Ayub yang tengah menderita sakit, kini anak-anaknya meninggal dunia. Bukan hanya satu atau dua, tapi semuanya. Alangkah nestapa seorang ayah dan ibu yang ditinggal anak-anak tercintanya.
Tak berselang lama, kebun yang subur, hijau dan menghasilkan sayur dan buah-buahan diserang hama dan badai yang menggila. Kebunnya rusak, pertaniannya tak bisa lagi diharapkan hasilnya.
Selanjutnya, hewan ternak peliharaannya pun turut mati. Bertumbangan satu persatu, bergelimpangan tak bisa dicegah.
Dalam waktu singkat, Ayub dan istrinya yang semula kaya raya, harta melimpah dan hidup sejahtera, kini keadaan berbalik 180 derajat. Sakit, miskin, sebatangkara, dan dijauhi masyarakat sekitarnya.
Pembaca yang budiman, adakah di antara kita yang pernah mengalami nasib serupa? Tidak rasanya. Juga kita mohon dilindungi Allah Swt dari ujian dahsyat semacam ini. Ujian yang sangat berat dipikul bagi hamba-hamba lemah iman seperti kita.
Bayangkan, dalam keadaan baik-baik saja; Keluarga harmonis, istri shalihah, anak-anak shalih nan berbakti, harta melimpah, kebun luas, dan ternak banyak. Tetiba jatuh sakit, miskin, dan ditinggal wafat orang-orang tercinta.
Ayub dan istrinya pindah ke pinggiran kampung, mengasingkan diri demi menjaga agar sakitnya tak menular ke mana-mana. Selama itu pula ia bersabar dan rela menerima ujian Allah Swt. Ayub bersyukur masih hidup, masih bisa mengingat Allah Swt. Terus berbenah diri, beribadah dan berobat.
Istri Ayub merupakan contoh mulia, istri shalihah dan setia. Dengan kondisinya sakit, bangkut, miskin dan terasing, ia setia menemani suaminya, mengurus keperluannya dan mencari makan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
“Wahai Nabi Allah,” suatu hari istrinya berkata, “Sudah 18 tahun engkau tidak berdakwah. Bagaimana bila engkau memohon pada Allah Swt untuk menyembuhkan penyakit ini. Itu saja. Cukup kesembuhanmu agar bisa berdakwah lagi.”
Perhatikan ungkapan istri Ayub ini, luar biasa. Bukan minta dikembalikan segala kesenangan hidup melalui harta, keturunan, rumah, kebun, ternak dan sebagainya. Tapi cukup kesembuhan agar bisa berdakwah lagi. Sungguh cermin istri shalihah.
Tapi apa jawaban Ayub?
“Wahai istriku berapa lama dulu kita dalam keadaan nikmat?”
“20 tahun.”
Maksudnya 20 tahun mengarungi kenikmatan hidup bersama dalam rumah tangga. Selama itu pula kisah cinta mereka terukir bahagia dengan kehadiran anak-anak penyejuk mata. Juga harta benda berkecukupan dalam kehidupan.
Lalu Ayub kembali bertanya, “Berapa lama kita sekarang diuji oleh Allah seperti ini?”
“18 tahun.”
“Aku masih malu untuk memohon kepada Allah.”
MasyaAllah, manusia macam apa Ayub ini hingga berkata demikian hebatnya? “Aku masih malu untuk memohon kepada Allah.” Aku malu minta kepada Allah karena pernah bahagia selama 20 tahun dan sakit baru 18 tahun. Jawaban ini menunjukkan kualitas manusia luar biasa.
Setelah 20 tahun, Ayub pun menadahkan tangan mohon pertolongan Allah Swt. Dengan santun dan berendah hati ia berdoa, “Wahai Rabbku, Penciptaku, Pemilikku, sesungguhnya aku sedang ditimpakan penyakit dan Engkau Dzat yang Maha Penyayang.”
Lagi-lagi hati kita terrenyuh dengan tuturan doanya. Coba perhatikan sekali lagi “Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sedang ditimpakan penyakit dan Engkau Dzat yang Maha Penyayang di antara para penyayang.”
Tidak ada ungkapan, ‘Ya Allah sembuhkan aku’ atau ‘Angkatlah penyakit ini.’ Yang ada adalah curahan hati, ‘Sesungguhnya aku sedang ditimpa penyakit dan Engkau Dzat yang Maha Penyayang.”
Luar biasa bukan?
Inilah hamba yang shalih, terpilih, agung dan mulia. Hamba yang ridha dengan ketentuan Allah Swt, disembuhkan atau tidak, biarlah Allah yang menentukannya. Dengan kesabaran dan berserah dirinya ini, Allah Swt memujinya dalam sertifikat langit.
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat taat (kepada Allah).” (QS Shaad [38]: 44).
Melewati usia 70 tahun, Allah Swt pancarkan air dekat tempat tidurnya. Melalui air itulah Allah Swt memerintahkan Ayub untuk mandi dan minum.
BACA JUGA: Meneladani Kesabaran Nabi Ayyub AS
“Hentakkanlah kakimu, inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” (QS Shaad [38]: 42).
Keajaiban terjadi. Usai mandi penyakit Ayub menyingkir, tubuhnya sehat, badannya segar, dan fisiknya kembali bugar. Ayub dan istrinya bersyukur bahagia. Masyarakat pun turut bahagia atas kesembuhan orang baik ini.
Esoknya berbondong-bondong masyarakat mengunjungi Ayub dan istrinya untuk menyatakan kebahagiaan, mereka membawa hadiah sebagai bentuk kesyukuran. Kekayaan Ayub kembali pulih, bahkan dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.
Tak berselang lama istrinya pun hamil, dan sejak saat itu istrinya melahirkan anak-anak kembar setiap tahun. Lahir 24 anak shalih meramaikan keluarganya. Laki-laki semuanya.
Allah Swt gambarkan kisah memesona ini melalui firman-Nya yang mulia, sebagai pelajaran, sebagai berita gembira untuk kita semua.
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya, ‘Ya Rabbku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.’ Maka Kami pun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah,” (QS Al-Anbiya [21]: 83-84).
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.S Az-Zumar [39]: 10). []