SATU waktu, seseorang datang dan mengatakan, “Aku sekarang sudah tidak mencintai istriku lagi…”
“Wah, kenapa?”
Dia diam. “Nggak tau juga ya. Setelah 15 tahun pernikahan, anak-anak sudah besar, semuanya berjalan kayak rutinitas aja. Hambar. Aku ga punya perasaan apapun lagi sama istriku.”
“Aneh kamu hehehe…”
“Aku kayak hidup ga jujur, pada diriku sendiri. Pada dia. Parah-lah…”
“Terus, kamu mau nikah lagi gitu?”
Dia tidak menjawab.
“Bro, coba pikirkan ini, kamu pikir ibumu mencintai kamu?”
Ia mengernyit. “Pertanyaan itu ga relevan dengan rasa cintaku pada istriku… Iyalah, semua ibu mencintai anaknya…”
“Gini ya, … Beberapa hari setelah kamu lahir, kamu udah di rumah, tengah malam kamu nangis jejeritan, popokmu basah, kamu lapar, dia bangun gantiin popokmu itu, kemudian meyusuimu, menurut kamu ibumu menikmatinya nggak?”
Dia ga jawab.
“Apakah ibu secara emosi juga ga jujur? Men, ukuran besarnya cinta ga melulu karena ibu kita menikmati mengganti popok di tengah malam, melainkan karena wanita itu rela melakukan itu semua meski dia ga begitu menyukainya.
“Nah, pernikahan itu ga melulu didasari perasaan cinta. Lebih dari itu, yaitu komitmen. Itu sama kayak kamu kerja. Kamu bisa jadi ga suka sama kerjaan kamu, tapi kamu still work there.”
Bor, saat pertama lelaki menikahi istrinya (bisa jadi) karena cinta, tetapi cinta yang menggebu-gebu akan padam seiring dengan berjalannya waktu. Hanya komitmen yang membuat cinta menggebu-gebu menjadi cinta yang matang dan dewasa.
—-
Suami, karena kamu mungkin lagi sering di rumah, jangan bosen sama orang rumah hehehe… []