KETIKA Sungai Nil terus mengering dan mengering, berbondong-bondong penduduk Mesir menghadap Fir’aun.
“Airi lagi Sungai Nil,” ujar penduduk pada Fir’aun. “Jika tidak, kami akan memilih tuhan lain.”
Fir’aun mendongak, dan agak marah. Ia menjawab, “Aku tidak suka kalian!”
Ucapan ini sebenarnya untuk menutupi ketidakmampuannya mengairi Nil.
Merasa tak ada pilihan lain, Firaun mengajak rakyatnya berkumpul di padang pasar yang luas. Lalu dia mengikuti mereka dari belakang. Di tempat yang tak bisa dilihat atau didengar oleh siapa pun, Firaun meletakkan wajahnya ke atas tanah.
Dengan sepenuh hati, dia mulai berdoa: “Wahai Tuhanku! Aku datang ke haribaan-Mu sebagai hamba yang hina. Aku tahu tak ada yang mampu mengairi Nil ini selain-Mu. Tuhanku, aku mohon alirkan air ke sungai ini dengan rahmat dan kemuliaan-Mu!”
Sekonyong-konyong air deras mengalir di sungai Nil.
Dengan sombong, Fir’aun berkata kepada rakyatnya, “Aku telah mengalirkan air ini lebih deras daripada sebelumnya.”
Penduduk Mesir pun bersujud di hadapannya.
Tak berapa lama kemudian, Allah menyuruh Jibril menemui Fir’aun dalam rupa seorang lelaki dan bertanya, “Paduka, aku punya seorang budak yang kuistimewakan dari budak-budak lain. Dia kutugasi mengurus semua budakku yang lain. Harta dan simpananku berada di tangannya. Tapi anehnya dia justru menyombong, menantang dan melawanku. Balasan apa yang sebaiknya kuberikan untuknya?”
Fir’aun menjawab, “Alangkah lacur dan biadabnya budak itu. Sekiranya budak itu milikku, tentu aku akan menenggelamkannya.”
Jibril langsung menimpal, “Sudikah Paduka menuliskan hukuman itu dan memberinya stempel kerajaan agar aku bisa menjalankan hukuman itu pada waktu yang tepat?”
Fir’aun melakukan semua yang diminta dengan senang hati.
Di hari ketika Fir’aun dan seluruh bala tentaranya ditenggelamkan, Allah menyuruh Jibril untuk menunjukkan surat keputusan berstempel itu kepadanya sambil berkata, “Kini hukuman yang telah kautetapkan itu akan dilaksanakan untukmu!”
Fir’aun pun tenggelam di Laut Merah. []