SUATU hari saya bertanya kepada anak didik saya, dia bernama Abang. Abang adalah seorang siswa yang banyak mengalami perkembangan di lembaga pendidikan yang saya kelola . Pasalnya, dulu ketika ia masih di sekolah lamanya, ia tidak pernah menjawab soal-soal yang diberikan oleh gurunya.
“Abang kok dulu waktu di sekolah lama soal ulangan banyak yang gak di jawab, tapi disini Abang diisi semua. Kira-kira apa alasannya?” tanya saya kepada Abang.
Ia nampak ragu-ragu untuk menjawab. Lalu, saya berikan pilihan,”Dulu itu Abang tidak bisa jawabannya karena malas jawab atau Abang merasa tidak nyaman?”
“Aku tidak nyaman,” lirihnya.
Begitu rupanya, ia tidak bodoh, ia nyambung kok ketika diajak bicara, dan ia juga bisa membaca. Berdasarkan cerita bunda, ibu Abang. Dulu gurunya di sekolah lama, sering berkata Abang gak nyambung, Abang tidak memenuhi standar nilai sekolah. Ternyata akhir-akhir ini diketahui bahwa pendekatan yang belum tepat lah yang membuat label itu dilekatkan pada Abang.
Guru yang terbangun dengan taking on challenges skill nya akan belajar membaca bahasa natural anak yang tentu saja tidak akan sama. Fitrahnya bahwa setiap anak itu unik. Guru harus mencari tahu bagaimana berkomunikasi dengan setiap anak.
Untuk bisa membaca bahasa natural anak, guru harus belajar knowledge yang banyak. Seperti belajar sikap-sikap terkait akhlakul kharimah, sebelas sistem tubuh, tahap perkembangan anak, multiple intelegences, domain berpikir anak juga seven essential lifeskil.
Nah, untuk belajar knowledge yang banyak ini dibutuhkan kerja keras dan kemauan yang tinggi dari seorang guru. Sebab, untuk menjadi guru excellent itu berawal dari diri sendiri. Tentu, guru yang seperti ini akan membuat murid nyaman, karena ia mampu membuat kesimpulan pendekatan dari data yang lengkap dan akurat tentang muridnya. Bukan berdasarkan asumsi pribadi.
Jadi, kuncinya sebagai guru harus memberikan pendekatan terbaik dalam pembelajaran di sekolah agar anak merasa nyaman. []