SUATU hari Syuraih bin al-Harits al-Kindi kedatangan Amirul Mukminin Umar bin Khaththab bersama seorang penjual kuda. Keduanya bermaksud mengadukan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan meminta Qadhi (hakim) Syuraih untuk menuntaskannya.
Syuraih mempersilahkan si penjual kuda untuk menjelaskan maksud kedatangannya. Lalu ia menjelaskan bahwa suatu hari Khalifah Umar membeli seekor kuda darinya. Namun selang beberapa hari Umar megembalikan kuda tersebut dan menuntut ganti rugi.
Setelah mendengar penjelasan si penjual kuda, Syuraih kemudian mempersilahkan Khalifah Umar untuk memberikan penjelasan. Umar yang mengangkat Syuraih jadi hakim ini pun menjelaskan bahwa ia mengembalikan kuda tersebut dan menuntut ganti, karena kuda itu berpenyakit dan cacat sehingga larinya tidak kencang.
Syuraih kembali mempersilahkan si penjual kuda untuk memberikan jawaban.
“Saya tidak menerima alasan Khalifah Umar, karena saya menjualnya dalam keadaan sehat dan tidak cacat,” kata penjual kuda menyanggah.
Syuraih kemudian bertanya kepada Umar, “Apakah benar ketika Anda membeli kuda itu keadaannya sehat dan tidak cacat?”
Umar menjawab singkat , “Benar.”
Syuraih pun segera memberikan putusan terhadap perkara tersebut. Ia menyatakan bahwa Umar tidak berhak meminta ganti kepada si penjual kuda karena ketika bertransaksi, kuda itu dalam keadaan sehat dan tidak cacat.
Ia kemudian berkata kepada Umar, “Peliharalah apa yang Anda beli. Atau jika ingin mengembalikannya, kembalikanlah seperti ketika Anda menerimanya.”
Mendengar keputusan Syuraih, Umar bertanya, “Benarkah keputusan Anda?”
Syuriah mengangguk pasti.
Umar memandang kagum Syuraih lantas berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu, ucapan yang pasti dan dan keputusan yang adil. Pergilah Anda ke Kufah, aku telah mengangkatmu sebagai hakim di sana.”
Sementara itu, pada masa kekalifahan Ali bin Abu Thalib, Syuraih yang masih menjadi hakim pernah juga didatangi oleh khalifah keempat itu bersama seorang Yahudi. Ali mengadu kepada Syuraih bahwa baju perangnya dicuri oleh si Yahudi. “Aku menemukan baju besiku dibawa oleh orang ini, tanpa melalui jual beli ataupun hibah,” terang Ali.
Mendengar pengaduan Ali, Syuraih kemudian mempersilahkan si Yahudi menyampaikan pembelaan. “Ini baju perangku, sebab sekarang berada di tanganku,” si Yahudi menyanggah tuduhan Ali.
Syuraih kemudian bertanya kepada kepada Ali, “bagaimana Anda yakin jika ini baju perang Anda?”
Kemudian Ali menjawab, “Karena orang yang memiliki baju perang seperti ini hanya aku.”
Syuraih kemudian berkata “Aku tidak meragukan bahwa Anda adalah orang yang jujur wahai Amirul Mukminin, dan aku yakin baju besi ini milik Anda, tetapi Anda harus mendatangkan dua orang saksi untuk menguatkan pengakuan Anda ini.”
Maka Ali mengajukan dua orang saksi, yakni pembantunya, Qanbar, dan anak kesayangannya Hasan. Tetapi Syuriah tidak mau menerima kesaksian Hasan dengan alasan dalam Islam kesaksian anak terhadap ayahnya tidak dapat diterima. Mendengar keputusan Syuriah itu Ali bertanya, “Apakah Anda tidak menerima kesaksian seorang calon penghuni surga? Apakah Anda tidak mendengar Rasullulah bersabda bahwa Hasan dan Husain adalah dua ahli surga?”
“Aku hanya tidak menerima kesaksian seorang anak terhadap ayahnya,” jawab Syuraih tegas sembari membacakan surah Al-Maidah ayat 8, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjasi orang-orang yang selalu menegakan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan Adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil.”
Mendengar penjelasan Syuraih, Ali pun menerima keputusan itu dengan lapang dada. Karena menurutnya apa yang diputuskan Syuraih adalah sesuai dengan ketentuan Alah Taala dan Rasul-Nya. Ia pun merasa bangga karena hakim yang dipilihnya dapat berlaku adil, termasuk kepada dirinya yang sedang memangku amanah sebagai Khalifah.
Ia kemudian menyerahkan baju perang itu kepada si Yahudi dan berkata, “Ambilah baju perang ini, karena aku tidak mempunyai saksi selain keduanya.”
Menyaksikan keadilan Syuraih dan keagungan Ali, yahudi itu terpana dan berkata, “Baju perang ini memang milik Anda, aku memungutnya ketika terjatuh di perang siffin. Hari ini saya menyaksikan seorang hakim yang sangat adil dan teguh menegakan ajaran Allah demi aku. Sungguh aku telah melihat kebenaran Islam. Maka saat ini juga aku menyatakan diri masuk Islam.”
Syuraih kemudian membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebagai rasa gembira atas keislaman si Yahudi, Ali menghadiahkan baju perang yang baru saja diperselisihkannya ditambah seekor kuda.
Keadilan dan keberanian Syuraih juga berlaku bagi keluarganya. Saat anaknya menghadapi suatu masalah, Syuraih menyuruh anaknya mengajukan ke pengadilan. Namun, ternyata di pengadilan Syuraih memenagkan lawan dari anaknya.
Sumber: Majalah Hidayatullah