AL JARH (mencela) dan At Ta’dil (memuji), atau lebih singkatnya bab kritik mengkritik dan rekomendasi di zaman ini telah menjadi “trend” tersendiri bagi sebagian orang. Bahkan seolah-olah jadi jalan pintas untuk “ngeksis” dan menampilkan kekokohan manhaj. Mendadak, semua jadi imam dan ahli jarh dan ta’dil di hari-hari ini.
Padahal, ulama zaman dulu (salaf) saja, lebih banyak yang lari dari perkara ini. Karena bab ini adalah sebuah bab yang sangat rentan tersusupi oleh hawa nafsu, ketidakikhlasan, serta kedzoliman sepihak. Sangat sedikit orang yang terselamatkan darinya. Mari sejenak me-replay nasihat salah seorang ulama besar negeri Yaman berikut ini. Semoga bermanfaat!
Asy -Syaikh Muhammad Al Imam Ar Raimi Al Yamani -hafidzohullah-:
BACA JUGA: Depok, Surga Para Penuntut Ilmu
(أيها الإخوة: المطلوب منا أن ننتبه على أنفسنا، لقد فتح باب شر في أيامنا، وما هو ؟ باب شر وهو قضية الجرح والتعديل لطلاب العلم، قضية الجرح والتعديل لطلاب العلم، طلاب طلاب العلم بحاجة إلى أنهم يسدون هذا الباب، باب الجرح والتعديل لا يحسنه، ولا يقدر عليه إلا الراسخ في العلم، الذي تجرد عن الهوى، والذي وطن نفسه على التحري في الأخبار، وعلى التحري في الأحكام بالعدل، وعلى الابتعاد عن هوى النفوس، وعن الانتقام، وعن وعن إلخ.
“Yang dituntut dari kita, hendaknya kita mengingatkan diri-diri kita, sungguh telah dibuka pintu kejelekan di hari-hari ini. Apakah itu ? Pintu kejelekan tersebut adalah perkara jarh dan ta’dil bagi penuntul ilmu. Penuntul ilmu sangat butuh untuk menutup pintu celah dalam bab ini.
Bab ini, adalah suatu bab yang tidak dapat melakukannya dan tidak mampu untuk itu kecuali seorang yang rasih الراسخ(mapan dan kokoh keilmuannya). Yaitu orang-orang yang bersih dari hawa nafsu. Orang-orang yang menempa dirinya untuk taharri التحري(berhati-hati dan meneliti benar) dalam masalah kabar, hati-hati dan teliti dalam menetapkan berbagai macam hukum dengan adil. Menjauhkan diri dari hawa nafsu, balas dendam dan yang lainnya…..”
أنصح طلاب العلم أن يتوبوا إلى الله من الدخول في هذه الأشياء، وأن يستقيموا على الدين، وأن يحافظوا على إصلاح ألسنتهم، وأن تكف الألسنة عما لا يجوز أن يتكلم في شخص، اتق الله، وراقب الله، وليس حجة للشخص أنه يطلق لسانه كما يريد، ويتعلل أني قد سمعت كذا، هذا لا يكفي، جاء من حديث ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم: “من قال في مؤمن بما ليس فيه أسكنه ردغة الخبال”.
Aku nasihatkan kepada para penuntut ilmu, untuk bertaubat kepada Alloh dari masuk dalam perkara-perkara ini. Hendaknya mereka istiqomah di atas agama. Dan hendaknya mereka senantiasa menjaga kebaikan lisan-lisan mereka. Hendaknya mereka menahan lisan dari berbicara pada diri seseorang. Takutlah kepada Alloh! Hendaknya merasa senantiasa diawasi oleh Alloh ! Bukan dalil, seorang melepaskan lisannya sebagaimana dia inginkan seraya berkilah : “aku telah mendengar demikian”. Ini tidak cukup.
Telah datang sebuah hadits dari Ibnu Umar, beliau -shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda : “Dan barangsiapa mengatakan pada diri seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, maka Allah akan menempatkannya dalam perasan penduduk Neraka hingga ia keluar (meninggalkan) dari apa yang ia katakan.”
BACA JUGA: Keberkahan Ilmu yang Hilang
فنحن نعلم، ونسير على هذا، أن الجرح والتعديل مما عرف به علماء الحديث أنهم يسيرون على ذلك، لكن بضوابط شرعية، ولهذا فأكثر أهل العلم لم يدخلوا في هذا الباب، لماذا ؟ رأوا آثروا السلامة، آثروا السلامة، وهم علماء، وهم علماء، اقرأ عن السلف، وانظر من الذي كان مشتغلا بهذا، إنهم كبار العلماء، وكذلك إنهم قليلون من العلماء.
Kita tahu dan kita berjalan di atas hal ini. Sesungguhnya jarh dan ta’dil itu, termasuk apa yang diketahui oleh para ulama ahli hadits. Mereka berjalan di atas hal ini. Akan tetapi dengan pijakan-pijakan syar’i. Oleh karena itu, kebanyakan ulama’ tidak masuk dalam hal ini. Kenapa ? Mereka memandang untuk memilih keselamatan. Maka perhatikan ! Siapa yang menyibukkan diri dengan hal ini ? Mereka para ulama besar. Dan ulama besar itu sangat sedikit.”
Facebook: Abdullah Al Jirani