UNTUK menjaga misi kerahasiaan pembebasan kota Mekah, Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu Khasyab dan Dzul Marwah pada awal bulan Ramadhan. Hal ini beliau lakukan agar ada anggapan bahwa beliau hendak menuju ke tempat tersebut. Sementara itu, ada seorang sahabat Muhajirin, Hathib bin Abi Balta’ah menulis surat untuk dikirimkan ke orang Quraisy.
“Dari Hathib bin Abi Balta’ah kepada Abu Sufyan. Saat ini Muhammad sedang mempersiapkan pasukan untuk memerangi kalian.” Demikian isi surat tersebut.
BACA JUGA: Kerinduan Para Sahabat terhadap Kota Mekah ketika Hijrah
Namun, isi surat yang mengabarkan akan keberangkatan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam menuju Mekah untuk melakukan serangan mendadak tersebut, atas izin Allah, Dzat Yang Maha Melihat, mewahyukan kepada Nabi-Nya tentang apa yang dilakukan Hathib. Beliau pun kemudian mengutus Ali dan Al Miqdad untuk mengejar wanita yang membawa surat tersebut.
Setelah Ali berhasil menyusul wanita tersebut, beliau langsung meminta suratnya. Namun, wanita itu berbohong dan mengatakan bahwa dirinya tidak membawa surat apapun. Ali memeriksa hewan tunggangannya, namun tidak mendapatkan apa yang dicari. Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku bersumpah demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam tidak bohong. Demi Allah, engkau keluarkan surat itu atau kami akan menelanjangimu.”
Setelah tahu ancaman dan kesungguhan Ali, wanita itupun menyerahkan suratnya kepada Ali.
Sesampainya di Madinah, Ali langsung menyerahkan surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alahi wasallam. Dalam surat tersebut tertulis nama Hathib bin Abi Balta’ah. Dengan bijak Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menanyakan alasan Hathib.
Hathib bin Abi Balta’ah pun menjawab, “Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku. Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi mereka. Sementara orang-orang yang bersama Anda memiliki kerabat yang bisa melindungi mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di sana.”
Dengan serta merta ‘Umar bin Al Khattab menawarkan diri, “Wahai Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap munafik.”
Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam dengan bijak menjawab, “Sesungguhnya Hathib pernah ikut perang Badar… Dan tahukah engkau bahwa Allah telah memerhatikan Ahli Badar (Allah telah berfirman tentang pasukan Badar): Berbuatlah sesuka kalian, karena kalian telah Kuampuni.”
Umar pun kemudian menangis, sambil mengatakan, “Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui.”
Demikianlah maksud hati Hathib. Beliau berharap dengan membocorkan rahasia tersebut bisa menarik simpati orang Quraisy terhadap dirinya, sehingga mereka merasa berhutang budi terhadap Hathib. Dengan keadaan ini, beliau berharap orang Quraisy mau melindungi anak dan istrinya di Mekah. Meskipun demikian, perbuatan ini dianggap sebagai bentuk penghianatan dan dianggap sebagai bentuk loyal terhadap orang kafir karena dunia. Tentang kisah sahabat Hathib ini diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya,
BACA JUGA: Perintah Hijrah Meninggalkan Mekah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan musuhKu dan musuhmu sebagai teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang, padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah….” (Qs. Al Mumtahanah: 1)
Satu pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah Hahtib bin Abi Balta’ah adalah bahwa sesungguhnya orang yang memberikan loyalitas terhadap orang kafir sampai menyebabkan ancaman bahaya terhadap Islam, pelakunya tidaklah divonis kafir, selama loyalitas ini tidak menyebabkan kecintaan karena agamanya. Pada ayat di atas, Allah menyebut orang yang melakukan tindakan semacam ini dengan panggilan, “Hai orang-orang yang beriman……” Ini menunjukkan bahwa status mereka belum kafir.
Sumber: DR. Ahmad Hatta MA., dkk. Januari 2015. The Golden Story of ‘Umar bin Khaththab. Jakarta Timur: Maghfirah Pustaka.