IKATAN perjanjian dalam berbagai hubungan kerja merupakan suatu interaksi yang tidak mungkin dielakkan. Apalagi menyangkut pekerjaan yang menuntut adanya saling percaya satu sama lain. Namun, dalam keadaan terpaksa, terkadang seseorang membatalkan suatu perjanjian.
Misalnya, karena sakit yang menyebabkan lemahnya jiwa dan fisik, karena sempitnya waktu, atau penyebab lain yang dapat dipahami oleh kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
BACA JUGA: Muslim, Cerialah!
Atas dasar mufakat, seseorang dapat membatalkan perjanjiannya. Pembatalan janji seperti ini, baik secara manusiawi maupun secara syariat dapat dibenarkan. Namun ada kalanya seseorang mempunyai penyakit di dalam hatinya, yaitu dengan mudah membuat perjanjian dengan orang lain lalu dengan mudahnya pula membatalkan janji yang telah dibuatnya tanpa persetujuan.
Jika kondisinya telah separah itu, maka seseorang dapat terjangkit penyakit hati yang harus diobati. Sikap seperti ini termasuk haram dimiliki oleh seorang mukmin. Alasannya adalah sebagai berikut.
1. Secara materi, sikap itu merugikan orang lain, terutama jika dia membawahi banyak orang atau punya relasi usaha. Ingat, semua orang yang merasa dirugikan harus dipertanggungjawabkan.
2. Secara moral, sikap seperti itu akan menghilangkan kepercayaan orang lain. Tidak mustahil jika suatu hari nanti semua orang akan menjauhinya.
3. Pelakunya akan dikenal sebagai tukang membatalkan janji (ghadir), baik di dunia maupun di akhirat. Rasulullah Saw bersabda,
“Setiap orang yang suka membatalkan janji(nya) pada hari kiamat akan memikul bendera di bagian belakangnya (sebagai tanda atas perbuatannya di dunia) yang akan ditinggikan sesuai dengan kadar pembatalannya.” (HR. Ahmad)
BACA JUGA: Ingkar Janji adalah Sifat Iblis
Oleh karena itu, setiap orang beriman wajib memelihara setiap janjinya, dengan memenuhi seluruh ketetapan atau semua persetujuan yang telah dibuatnya. Allah berfirman,
“Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti bakal diminta pertanggungjawaban.” (QS. Al-Isra : 34)
Agar selamat dari penyakit ghadir ini, yang terpenting kita harus pandai-pandai dan hati-hati membuat suatu keputusan dan perjanjian. []
Sumber: 60 Penyakit Hati/Uwes Al-Qorni/Remaja Rosdakarya/2005