Oleh: Newisha Alifa
Penulis tinggal di Bekasi
MUNGKIN sudah dari zaman para buyut kita dulu, banyak orang yang belum menikah, ya ingin menikah. Sama seperti orang lapar ya inginnya makan. Kalau sudah kenyang, ngantuk, ya pinginnya tidur. Lalu?
Hanya saja menikah tidak sesepele itu. Menikah adalah urusan tanggung jawab jangka panjang. Tidak sependek, kita makan lalu bayar, dan semuanya selesai. Tidak.
Beberapa bulan lalu, ada seorang teman pria yang menyinggung tentang pernikahan. Dia ingin menikah katanya. Lalu dia menasehati saya untuk mencari pria yang serius. Saya hanya tersenyum saja menanggapi kata-katanya.
Melihat style lelaki yang usianya lebih muda setahun dari saya itu, saya pun bertanya,
“Emang kenapa, pingin nikah?”
“Capek, pacaran mulu,” ketiknya via salah satu aplikasi chatting.
“Capek gimana?” kejar saya lagi.
“Ya, capek aja. Umur gue udah segini. Masa mau pacaran mulu?”
Entahlah, saya merasa jawabannya gantung. Atau memang bagi beberapa laki-laki, ya arti pernikahan memang sesederhana itu?
Kemudian gantian saya menasehatinya, “Menikah bukan sekadar ‘ingin’. Kita harus punya bekal yang cukup sebelum menikah. Saran gue, coba deh sesekali lo ikut seminar pra nikah. In Syaa Allah, bakal dapet banyak ilmu di sana.”
Dia pun menjawab, “Oke. Makasih.”
Ada yang bilang dan banyak yang meyakini bahwa ‘Tak perlu ada alasan untuk mencintai seseorang’. Mereka yang percaya, bahwa cinta itu ya cinta saja. Nggak perlu dicari tahu kenapa alasannya?
Hanya saja berkali-kali saya merenung, saya tetap gagal untuk menerima dan sepakat tentang hal ini. Sebab saya berdiri di barisan yang berseberangan dengannya. Ya, bagi saya, kita harus selalu punya alasan mengapa sampai mencintai seseorang? Harus!
Dan, saya juga tidak percaya dengan kata-kata itu. Entah dusta, basa-basi, atau si pencinta itu belum sadar, kenapa dia sampai jatuh cinta dengan seseorang? Sebab saya yakin, pasti ada sesuatu yang membuat kita tertarik dengan seseorang. Tidak mungkin tidak. Minimal karena fisik, atau hal-hal lain yang langsung nampak cocok dengan keinginan atau harapan kita.
Banyak orang jatuh cinta, lalu menikah karena wajah rupawan, status sosial yang dianggap setara, materi yang berlimpah. Lalu mereka hidup bahagia, tak terpisahkan hingga ajal menjemput.
Ya begitu memang idealnya. Yang cantik dengan yang tampan. Yang kaya sama yang kaya. Yang anak rektor sama anak dokter. Putra insinyur, sama putri pilot. Sepadan.
Tapi lupakah kita, bahwa hidup tak melulu berjalan dengan ‘standar idealisme’ kita? Bahwa yang menulis dan menggenggam skenario hidup kita sejatinya bukan kita, tapi Allah?
Dan inilah poin yang mesti kita renungkan. Bahwa banyak juga yang menikah dengan berbagai label kesepadanan, tapi pada akhirnya berpisah dengan alasan “Kami sudah tidak cocok lagi.”
Kok bisa?
Padahal di mata orang lain, mereka adalah pasangan serasi?
Jawabannya ya bisa saja.
Ada dua kemungkinan kenapa dua sejoli memutuskan untuk berpisah?
Pertama, karena poin-poin penting yang dulu menjadi alasan mereka jatuh cinta, sudah tidak lagi ada pada diri pasangannya. Misalnya fisik yang memang hakikatnya tidak abadi.
Kok istri sudah makin gendut, keriput, tapi malah nambah banyak nuntut?
Kok suami sekarang perutnya membuncit, rambut kian memutih, makin nggak peduli sama anak istri?
Atau kesulitan ekonomi?
Yang tadinya kaya raya, mendadak bangkrut? Kan alasannya dulu mau nikah karena harta. Maka masyarakat pun mulai akrab dengan kiasan, “Ada uang Abang disayang. Nggak ada uang Abang ditendang”. Na’udzubillahimindzalik!
Alasan kedua, ya karena baru sadar, sudah keliru menentukan kriteria standar untuk jatuh cinta dan menikah. Milih yang kaya raya, eh ternyata dibohongi dan sudah dijadikan istri ketiga. Ketika protes pada suami, ya suami dengan enteng bilang,
“Ngapain kamu protes? Yang penting segala kebutuhan ekonomi kamu aku penuhi!”
Atau pria yang menikahi wanita cantik sekali. Eh ternyata biaya perawatan kecantikan sang istri bisa bikin bangkrut suami.
Semakin kita didominasi oleh alasan-alasan fisik dalam mencintai seseorang, sejatinya, semakin rapuh pula pondasi sebuah hubungan.
Kalau faktor cantik dan tampan dijadikan alasan utama kenapa kita mencintai seseorang, maka percayalah … Di luar sana, pasti akan selalu ada yang lebih cantik atau tampan dari pasangan kita. Pasti!
Saya tuh paling males buka Instagram. Bukan apa-apa, sekalinya udah buka IG, saya makin minder, karena di luar sana begitu banyak perempuan yang cantik, bening, langsing, hidungnya tuing, nggak kayak saya. Hehehe.
Pun kalau lagi lihat fisik laki-laki misalnya. Ya bakalan muncul terus yang lebih tampan, lebih maskulin, lebih cool, lebih inilah itulah. Nggak ada habisnya.
Begitu pula dengan harta.
Lihat mereka yang sebulan sekali bisa rekreasi ke luar kota. Ehhhh, ternyata ada yang seminggu sekali bisa jalan-jalan atau malah tiap hari tinggalnya di Eropa? Lah kita? Ternyata cuma bisa liburan di rumah saja? Gigit jari deh!
Subhanallah!
Kalau standar bahagia kita karena hal-hal yang sifatnya fisik itu, ya ibarat minum air laut. Makin diteguk, bukannya menghilangkan dahaga, malah semakin menjadi-jadi hausnya.
Maka atas semua kesadaran itu, saya justeru takjub dengan mereka yang jatuh cinta lalu menikah, dengan pasangan-pasangan yang tidak sempurna secara ‘fisik’.
Saya luar biasa kagum pada mereka yang sebenarnya punya peluang untuk mendapatkan pasangan yang sepadan secara kasat mata, tapi memilih bertahan dengan seseorang yang mungkin tidak sempurna di mata kebanyakan orang.
Ingatkah kita tentang kisah sahabat nabi yang memiliki istri sangat cantik, sementara—maaf—dia sendiri tidaklah tampan? Rupanya berkah Allah turun atas keduanya dari perasaan syukur sang suami dan ekspresi sabar sang istri. Ma Syaa Allah!
Temukan alasan terbaik kenapa kita sampai jatuh cinta dan menikah?
Kenapa mesti sama si dia?
Bukan sekadar menjawab, “Ya karena udah takdirnya sama dia.”
Nggak bisa begitu.
Nanti kalau sudah bosan, alasannya begitu juga deh, “Ya karena takdirnya sama dia cuma sampe sini aja.”
Enak saja, dikit-dikit yang dijadiin alasan itu takdir.
Takdir ada bukan untuk dijadikan kambing hitam atas segala keputusan sembrono yang kita ambil dalam hidup kita.
Semoga kita paham betul, mengapa kita melabeli seseorang adalah Mr. Or Mrs. Right-nya kita.
Dan semoga kriteria fisik, tidak sampai mengelabui kita dalam menentukan alasan yang paling utama dalam membersamai dan dibersamai seseorang. Semoga.
Sudahkah kau temukan alasan, kenapa kau harus berikhtiar untuk segera menghalalkannya? Atau kau, Saudariku … Apa alasan utamamu sampai kau bersedia menerima pinangannya? []