Oleh : Herman Apriadi
imanabid722@gmail.com
“KAMU kenapa? Kok merah-merah gitu mukanya?”
“Kayanya alergi, Bang. Aku alergi obat. Nah tadi kan aku makan obat anti mabuk perjalanan. Makanya begini”
“Oh, nggak papa. Nanti juga hilang.”
“Iya, Bang.”
===
“Kamu punya alergi juga?”
“Punya, Bang. Aku alergi udang. Badanku gatal kalo makan udang.”
“Oke, nanti kita tidak akan makan udang.”
===
“Kamu … kamu punya alergi juga?”
“Punya, Bang. Aku alergi udara dingin.”
“Wah, agak repot juga ya. Sekarang kan musim hujan? Tapi kamu bawa jaket, kan?”
“Iya, Bang. Bawa.”
“Bagus.”
===
“Kalo kamu?”
“Aku juga! Iya aku alergian, Bang.”
“Iya, alergi apa?”
“Kalau sudah kena itu nggak nyaman banget. Campur aduk rasanya. Mual, risih, pengen marah, pokoknya jadi nggak betah. Pengen menjauh.”
“Iyaa … tapi alergi apa?”
“Menurut Abang ini alergi apa?”
“Ya mana saya tau?! Biasanya dalam keadaan seperti apa alergi itu muncul?”
“Pas saya ditegur, dinasihati, diajak sholat, diajak ngaji, diajak ke majelis taklim, nonton video ceramah. Pokoknya yang gitu-gitu.”
“Oh, kamu alergi dakwah.”
(Alergi merupakan bentuk reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap sesuatu yang dianggap berbahaya walaupun sebenarnya tidak. Ini bisa berupa substansi yang masuk atau bersentuhan dengan tubuh. Alergen atau substansi pemicu alergi hanya berdampak pada orang yang memiliki alergi tersebut.)
Nah kalau alergi dakwah; yang bereaksi itu sistem kekebalan tubuh yang bagaimana? Dan, sebenarnya itu sistem kekebalannya siapa? Yang punya badan? Apa iya? []