IBADAH haji diwajibkan bagi semua muslim, terutama yang mampu, Mampu yang dimaksud mencangkup smua aspek baik fisik maupun psikir, baik moril maupun materi. Oleh karena itu, syariat tidak mewajibkan Muslim disabilitas untuk melakukan haji. Namun, keinginan kuat untuk melakukan perjalanan spiritual ini tentunya menjadi dambaan bagi semua muslim, termasuk kaum difabel. Maka, tak ada larangan bagi mereka untuk berhaji, kendati syariat tidak mewajibkan.
Di masa lalu, tantangan fisik haji jauh lebih ketat daripada era akomodasi nyaman ber-AC saat ini. Perhatian terhadap kebutuhan muslim dari kalangan difabel sudah dilakukan oleh pihak penyelenggara haji. Ada banyak biro perjalanan dan layanan yang tersedia bagi para jemaah difabel yang ingin melakukan haji.
BACA JUGA: Aktifitas Jamaah Haji Mulai Padat, Tim P3JH Siapkan Kondisi Darurat Medis
Tingkat bantuan yang diperlukan oleh jamaah akan menentukan apakah agen perjalanan khusus diperlukan. Dalam semua kasus, pengaturan perjalanan dan bantuan untuk jemaah difabel harus dilakukan dengan hati-hati.
Untuk jamaah yang tidak sepenuhnya terikat kursi roda, hampir semua agen dan layanan perjalanan haji dapat mengakomodasi jamaah dengan kemampuan fisik yang terbatas, seperti naik bus, dan naik/turun tangga. Laporan daring sangat menggembirakan, mengenai beragam layanan disabilitas yang tersedia.
Jemaah yang membutuhkan layanan kursi roda penuh waktu dan bantuan akan lebih baik dilayani oleh agen perjalanan khusus. Pengurus menyediakan kebutuhan individu dari setiap jemaah dalam kelompok mereka. Sebagai contoh, layanan Haji Penyandang Cacat telah ditawarkan sejak tahun 2000 oleh Misi Haji Penyandang Cacat Inggris (UK & European), operator tur haji dan Umrah nirlaba yang berspesialisasi dalam kebutuhan disabilitas.
Berdasarkan kebijaksanaan yang diperoleh dari 15 tahun pengalaman, DHM merekomendasikan melakukan haji dalam periode sepuluh hari. Ini merupakan jangka waktu yang dapat dijalani oleh penyandang disabilitas.
Sebagian besar jemaah tiba di Bandara Internasional King Abdul Aziz di Jeddah. Tetapi dengan adanya Bandara Internasional di Madinah, jamaah difabel bisa lebih nyaman untuk terbang ke Madinah. Ini tidak hanya soal jumlah kepadatan jemaah yang lebih sedikit, tetapi periode prosedur bea cukai pada saat kedatangan juga jauh lebih sedikit.
Tiba di Madinah beberapa hari sebelum ritual haji menawarkan kesempatan yang nyaman bagi jemaah untuk mengunjungi Masjid Nabawi. Program-program yang ditawarkan kepada para jemaah difabel juga termasuk kunjungan ke Masjid Quba’a, Masjid Qiblatain, Gunung Uhud, dan lain-lain, saat berada di Madinah.
Ihram biasanya dimulai di stasiun Al-Miqat dalam perjalanan dari Madinah ke Mekah. Namun, para peziarah difabel mungkin merasa lebih nyaman untuk melakukan Ghusl. Setelah itu, mereka dapat memasuki Ihram dari hotel mereka sebelum meninggalkan Madinah. Kemudian, mengucapkan Talbiyah dan menaiki kursi roda dengan fasilitas nyaman. Perjalanan 420 kilometer ke Mekah pun bisa dimulai.
Distrik Aziziyah di Mekah sering dipilih untuk akomodasi yang lebih nyaman karena lalu lintas yang padat dan keramaian di sekitar Masjidil Haram. Setibanya di Aziziyah, ada pemberhentian singkat untuk membongkar barang. Kemudian jemaah dapat mengunjungi Masjidil Haram untuk melakukan Tawaf, dan Sa’i, antara Safa dan Marwa.
Akses dan juga pendorong Kursi roda disediakan di seluruh kompleks Masjidil Haram. Tersedia juga skuter listrik (untuk disewakan) dan kursi roda standar yang banyak lagi gratis. Sedangkan bagi mereka yang bepergian dengan kursi roda lipat sendiri, disarankan untuk selalu memberi label.
BACA JUGA: SRCA Siapakan Layanan Darurat dan Medis bagi Jemaah Haji di Madinah
Meninggalkan akomodasi mereka pada tanggal 7 Dzulhijah, para jemaah menuju tenda kemah di Mina untuk ritual haji. Namun, tidak semua toilet di Mina, Arafat dan Muzdalifa dapat diakses kursi roda. Oleh karena itu, penyedia layana haji bagi difabel seperti DHM menawarkan layanan khusus, termasuk “toilet penyandang cacat dan tenda lengkap di Mina & Arafah serta pembantu di seluruh perjalanan sejak saat kedatangan.
Setelah shalat Subuh pada tanggal 9 Dzul Hijjah, jemaah melanjutkan ke Arafah. Di sana mereka menghabiskan hari dalam doa hingga matahari terbenam.
Melanjutkan ke sebelah Muzdalifa, jemaah menggabungkan shalat Maghrib dan Isya di Isya. Kemudian mereka mengumpulkan 70 kerikil untuk dilempar ke Jamarat di Mina.
Kembali ke Mina di malam hari adalah hal biasa, tetapi wanita, orang tua dan jemaah disabilitas sering bermalam di Muzdalifa.
Kegiatan Mina meliputi tiga hari Ramee Al-Jamarat atau melempari batu Setan, dan pada tanggal 10 Dhul Hijjah, Zabiha, atau penyembelihan hean kurban. Untungnya, Jamarat sekarang lebih luas dan lebih aman. Namun demikian, para jemaah difabel dapat menunjuk seseorang untuk melakukan lemparan batu menggantikan mereka.
Pada tanggal 12 Dhul Hijjah, jemaah haji kembali ke Mekah. Di Masjidil Haram, ritual terakhir haji adalah melakukan perpisahan Tawaf Al-Wada.
Menurut Sahih Bukhari, Nabi Muhammad Saw memberikan contoh yang berbelaskasih untuk diikuti oleh setiap Muslim disabilitas. Dalam ibadah haji terakhirnya, Nabi melakukan Tawaf dari Ka’bah dengan mengendarai unta dan mengarahkan tongkat bengkok ke arah hajar aswad.
Intinya, Syariat Islam memudahkan umatnya untuk melaksanakan ibadah, termasuk dalam prosesi haji yang panjang dan cukup berat untuk dijalani bagi sebagian orang. []
SUMBER: ABOUT ISLAM