SEPERTINYA, takkan ada perdebatan jika saya tuliskan bahwa Allah, Sang Kreator Paling Ulung, menciptakan segala sesuatu itu berpasangan. Ada malam ada siang. Ada suka ada duka. Ada pria ada wanita. Ada menang ada kalah. Ada atas ada bawah.
Semua ketetapan tersebut berjalan sangat alamiah sesuai dengan perintah Allah. Itulah yang kemudian menjadikan semuanya disebut dengan sunatullah (ketetapan Allah).
Berbicara tentang ketetapan Allah, perlu ditekankan bahwa tak ada istilah kebetulan dalam kamus Allah sebagaimana kita sering mengistilahkannya dalam kamus manusia.
BACA JUGA:Â Rendra, Masuk Islam karena Merasa Allah Lebih Dekat daripada Urat Nadi
Pada saat menetapkan sesuatu, Allah sebagai Sutradara Yang Mahahebat dan Mahakreatif telah menskenariokannya dengan sangat cermat, teliti, dan terukur. Tak ada istilah dialog yang panjang. Kun fayakun. Sesimpel itu Allah bertitah; terjadi maka akan terjadilah.
Jujur saja, ada banyak dari kita–termasuk saya–selalu mengharap segala sesuatu berjalan sesuai dengan rencana kita. Kita berupaya “menggiring” ketetapan Allah agar sesuai dengan rencana kita. Untuk mencapai hal itu, ada banyak doa dan ikhtiar yang telah dilakukan.
Dan, satu atau beberapa kali, doa dan ikhtiar kita mampu menjadikan rencana yang kita harapkan sesuai dengan keinginan kita. Ya, wajar saja karena memang Allah sesuai dengan prasangka makhluk-Nya dan Dia pasti akan mengabulkan doa orang-orang yang memohon kepada-Nya.
Namun, satu atau beberapa kali juga doa dan ikhtiar yang telah kita lakukan belum mampu “menggiring” ketetapan Allah agar sesuai dengan harapan kita. Nah, pada saat seperti ini, kadar keimanan seseorang sangat berperan.
Ada dari kita yang mungkin menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dan tetap berpikir positif. Ada dari kita yang mungkin berat untuk menerimanya sehingga beberapa saat lamanya larut dalam kesedihan.
Dan, ada dari kita yang mungkin teramat kecewa hingga kemudian menghujat apa yang telah Allah tetapkan. Na’udzubillah min dzalik (mudah-mudahan kita terhindar dari sifat seperti ini).
Pada saat kita berhasil mendapatkan sesuatu sesuai dengan keinginan kita, dengan kata lain bahwa ketetapan Allah sesuai dengan keinginan kita, sejatinya kita bersyukur dan meyakini bahwa tanpa kehendak Allah itu tidak akan terwujud. Jangan pernah tebersit sedikit pun di hati kita bahwa itu bisa terwujud atas doa dan ikhtiar kita.
Tidak, sama sekali tidak. Ini jumawa namanya.
Doa dan ikhtiar hanyalah bagian dari proses yang seharusnya memang kita jalani pada saat ingin merengkuh sesuatu. Yang paling utama dari semuanya adalah kehendak dari Allah. Karena itu, selain bersyukur, pada saat apa yang kita harapkan dapat kita raih, kita pun semestinya menyertai dengan istighfar.
Bisa jadi, apa yang telah Allah tetapkan itu adalah hasil dari kerja keras kita. Namun, bisa jadi pula itu adalah sebuah ujian dari Allah untuk mengetes kadar keimanan kita.
BACA JUGA:Â Jangan Pernah Berhenti Berdoa …
Mengucap syukur adalah wujud penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Allah yang telah menetapkan, sedangkan beristighfar adalah wujud kewaspadaan kita agar senantiasa mendapat lindungan dari Allah.
Kemudian, pada saat doa dan ikhtiar kita belum mampu “menggiring” ketetapan Allah sesuai dengan harapan kita, sikap yang harus kita bangun adalah tetap optimistis dan berpikir positif. Jangan pernah tebersit sedikit pun di hati kita untuk menghujat ketetapan tersebut.
Tidak, sama sekali tidak. Ketetapan Allah tidak pantas untuk kita hujat.
Apa pun yang telah Allah tetapkan adalah yang paling baik bagi kita. Itu yang harus kita yakini karena, bagaimanapun, Allah adalah pencipta kita sehingga Dia benar-benar tahu dan paham apa yang sesuai dengan kita. Dia sangat dekat dan bahkan lebih dekat daripada urat leher kita. []
Purwakarta, 08 Oktober 2020