SEBUAH pesan singkat tiba-tiba masuk ke HP Syaikh Dr. Muhammad Al-‘Areifi yang berbunyi seperti ini, “Syaikh yang terhormat, apa hukumnya bunuh diri itu?”
Syaikh lantas cepat-cepat mengubungi si pengirim pesan tersebut. Ternyata, yang menjawab adalah seorang pemuda tanggung. Syaikh berkata kepadanya, “Maaf, saya belum memahami pertanyaan Anda di sms tadi. Bisakah Anda mengulangnya sekali lagi?”
“Bukankah sudah sangat jelas, apa hukumnya bunuh diri itu?” Jawab pemuda tersebut agak kesal.
BACA JUGA: Hukum Putus Asa dalam Islam
Dia tidak sadar bahwa waktu itu Syaikh hanya ingin mengejutkannya dengan sebuah jawaban yang tidak akan pernah ia duga sama sekali. Lalu, sambil tersenyum ringan Syaikh berkata kepadanya, “Hukumnya adalah dianjurkan…!”
“Apa?” teriaknya sambil terkejut penuh keheranan.
Tapi, Syaikh menjawab kepenasarannya dengan pertanyaan. “Bagaimana jika kita bekerja sama saja untuk menentukan cara Anda bunuh diri?” Ujar Syaikh kepadanya.
Pemuda itu pun terdiam. Maka, Syaikh bertanya kepadanya, “Baiklah…, saya ingin bertanya kepada Anda terlebih dahulu, mengapa Anda ingin bunuh diri?”
“Karena saya tidak segera mendapatkan pekerjaan. Bahkan, sepertinya orang-orang tidak ada yang menyukai saya. Singkatnya, saya adalah orang yang benar-benar gagal,” jawabnya dengan serius. Namun, belum sempat Syaikh menimpali jawabannya itu, ia sudah menyela dengan bercerita panjang lebar tentang kisah kegagalannya.
Dalam kehidupan ini, seringkali kita dihadapkan dengan berbagai macam cobaan. Terkadang hidup begitu rumit rasanya, ujian demi ujian datang, utang di mana-mana, usaha bangkrut, keluarga berantakan, hingga pekerjaan tak kunjung didapatkan. Kita pun merasa tak berdaya, merasa tak punya apa-apa, merasa kerdil, merasa semua orang tak peduli, hingga hari begitu lelah untuk dilalui.
Sering kali kita putus asa dalam persoalan yang kita hadapi. Semakin kita berusaha untuk menyelesaikan, semakin kuat pula persoalan itu melilit kita. Seluruh tenaga dan waktu telah kita habiskan, namun tetap saja tidak cukup untuk menyelesaikan persolan tersebut. Sampai hal ini membuat kita berprasangka buruk dan merasa Allah tidak adil pada diri kita. Astagfirullah…
BACA JUGA: Kerugian bagi Muslim yang Putus Asa, karena Allah Sibuk Mengabulkan Doa
Padahal Allah SWT telah berfirman bahwa seseorang tidak akan diberikan ujian di luar batas kemampuannya.
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah: 286)
Dari ayat ini, Allah menjamin tidak akan memberi suatu ujian sesuai dengan kemampuan hamba-Nya. Kalau Allah saja yakin kita mampu, masa kita sendiri tidak yakin dengan kemampuan diri? Allah menguji bukan berarti Allah benci dengan kita, tetapi Allah menguji kita karena Dia sangat kasih dengan kita. Allah tahu kita kuat dalam menghadapi ujian-Nya oleh karena itu Allah memberikan ujian-Nya atas diri kita. []
SUMBER: WAHDAH